Bahasa: Antara Jepang, Korea, dan Indonesia

Kita harus bangga berbahasa Indonesia.
Belajar bahasa lain juga sah-sah saja.

Penulis: Salma FK | Penyunting: Sandy Maulana

Saya bukan penikmat sejati film atau serial drama Korea. Kalau iseng atau ada yang menarik baru saya tonton. Untuk film mungkin bisa dihitung jari, sedangkan drakor yang sampai tamat cuma satu, Crash Landing on You.

Salah satu film Korea yang paling membekas dalam benak saya adalah Mal-Mo-E: The Secret Mission. Pertemuan kami pun tidak disengaja. Poster film ini disajikan dalam slide penutup oleh seorang pakar toponimi dari Badan Informasi Geospasial yang mengisi seminar daring bertema “Keistimewaan Toponimi dan Geomitologi di Pesisir Selatan Yogyakarta”.

“Dari film ini saya jadi makin paham pentingnya perilaku mengumpulkan. Berdasar cerita tentang orang-orang Korea yang berusaha menyusun kamus di masa sulit pendudukan Jepang,” ungkapnya di akhir acara. Mungkin beliau menemukan kemiripan antara mengumpulkan kata dan mengumpulkan toponimi–dengan berbagai keunikannya dari tiap daerah di seluruh Indonesia.

DISCLAIMER: Tulisan ini tidak membahas tentang kajian toponimi, tapi kalau kamu tertarik, kamu bisa membaca tulisan di sini.

***

Di sini saya tidak ingin memberi bocoran yang berlebihan. Intinya, Mal-Mo-E: The Secret Mission mengisahkan usaha Perhimpunan Bahasa Korea (PHK) untuk membukukan seluruh kosa kata dari semua dialek daerah yang ada di Korea Selatan.

Pada masa itu, Jepang melarang penggunaan Bahasa Korea. Akibatnya, anak-anak Korea tidak mengenal bahasa mereka sendiri. Sekolah-sekolah hanya menggunakan Bahasa Jepang. PHK pun semakin khawatir.

PHK berisi orang-orang gigih yang berupaya menerbitkan Kamus Bahasa Korea dengan kosa kata yang baku sehingga bisa diterima dan dimengerti oleh semua orang Korea yang memiliki dialek beragam. Yang membuat misi PHK semakin sulit, banyak orang–termasuk guru Bahasa Korea–yang enggan membantu karena takut ditangkap Jepang.

PHK butuh waktu lebih dari 13 tahun sebelum akhirnya sukses membuat Kamus Besar Bahasa Korea yang terbit pada 15 Agustus 1945. Keberhasilan ini dibayar mahal, 33 orang anggota PHK ditangkap, sementara 2 orang lain meninggal karena disiksa pada tahun 1942.

Mengapa ada sekelompok orang yang mau bersusah payah hanya untuk membuat kamus?

“Kata-kata mengandung semangat bangsa,” kata salah satu pengurus PHK.

Bagi mereka kata-kata adalah jati diri, yang tidak boleh sampai lenyap. Terlebih karena alasan dilarang penjajah.

Entah bagaimana film ini menggugah sisi melankolis saya. Melihat naskah kamus asli di akhir film, air mata ini meleleh. “Perkara bahasa kok bisa jadi gini sih?” gumam saya.

Bicara nasionalisme dan bahasa, sekarang adalah bulan Oktober. Bulan yang oleh orang Indonesia lekat dengan peristiwa Sumpah Pemuda.

Ada poin yang menarik. Poin ketiga Sumpah Pemuda berbunyi: “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan Bahasa Indonesia”.

Bagi saya pribadi, keberadaan poin tersebut mengindikasikan bahwa kita tidak memiliki persoalan bahasa serumit kisah Mal-Mo-E: The Secret Mission.

Tidak ada larangan untuk berbahasa Indonesia. Pada periode pendudukan Jepang (mulai 1942) pun, mereka mengizinkan kita berbahasa Indonesia. Yang dilarang adalah penggunaan Bahasa Belanda.

Nama toko, perusahaan, surat-menyurat, percakapan di telepon, berita kawat, semua harus dalam Bahasa Indonesia atau Jepang. Dalam rapat-rapat di pemerintahan ada penerjemah dari Bahasa Jepang ke Indonesia atau sebaliknya (Permadi & Purwaningsih, 2015, hlm. 594).

Kok enak? Bisa dwibahasa dong?

Ya mungkin enak. Tapi, Jepang berlaku demikian tentu ada maksudnya. Tujuannya agar mereka lebih mudah mengerti apa yang kita sampaikan. Sekaligus, menarik simpati rakyat dengan ilusi kedatangan Jepang berhasil “membebaskan” Indonesia dari Belanda.

Jika mundur lagi jauh sebelum pendudukan Jepang. Belanda juga merestui penggunaan Bahasa Indonesia (d/h Bahasa Melayu). Tahun 1901 pemerintah Belanda meresmikan ejaan van Ophuijsen, yang kemudian dijadikan pedoman ejaan Bahasa Melayu.

Orang Belanda lebih senang jika pribumi menggunakan bahasa mereka sendiri. Karena jika para pribumi pandai berbahasa Belanda, apalagi juga berkepribadian nasionalis, maka dikhawatirkan mereka bisa jadi ancaman baru untuk Belanda. Dan itu nyata terjadi. The founding fathers kita orang-orang yang fasih berbahasa Belanda bukan?

Lanjut, tahun 1938. Sepuluh tahun setelah Sumpah Pemuda, tujuh tahun sebelum merdeka. Kita sudah melaksanakan Kongres Bahasa I yang dilaksanakan di Solo, Jawa Tengah. Ada yang melarang? Sepertinya tidak.

Kongres ini menyepakati beberapa keputusan. Di antaranya, menyetujui penyerapan kata-kata asing, usulan untuk segera membenahi gramatika sehingga lebih sesuai dengan Bahasa Indonesia, hingga saran untuk mendirikan Perguruan Tinggi Kesusastraan.

Setelah kongres bahasa pertama, kongres-kongres berikutnya terus diadakan. Sampai sekarang untuk ejaan contohnya, kita punya PUEBI = Panduan Umum Ejaan Bahasa Indonesia (d/h EYD=Ejaan Yang Disempurnakan) yang telah disahkan sejak tahun 2015.

Untuk kamus? Tentu saja ada KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), yang pertama kali terbit tahun 1953 dengan nama KUBI (Kamus Umum Bahasa Indonesia). Apakah dalam pembuatan kamus ini ada nyawa yang dikorbankan seperti di Korea Selatan? Sejauh saya tahu belum ada… yang memfilmkan hingga demikian dramatis.

***

Jadi, kenapa orang Indonesia sejak sebelum kemerdekaan sudah menggaungkan Bahasa Indonesia? Kenapa orang Korea juga berjuang mati-matian untuk bahasa mereka?

Karena bahasa adalah cerminan harga diri suatu bangsa. Bahasa dan bangsa adalah hal yang tidak dapat dipisahkan (Haugen, 1966, hlm. 927). Sebagai individu saja, tidak ada orang yang mau harga dirinya diinjak-injak. Apalagi dengan bahasa, yang bisa mencerminkan suatu kelompok dengan cita-cita dan tujuan yang sama (re: bangsa), yaitu orang-orang yang ingin merdeka.

Di luar bahasa daerah masing-masing, bahasa nasional yang bisa dimengerti seluruh rakyat menjadi hal yang juga harus diperjuangkan. Dan perlu untuk dibukukan, agar tidak hilang terlindas zaman.

***

Demikian tulisan ini dibuat untuk mengingat kembali bahwa kita punya Bahasa Indonesia. Bahasa yang persiapannya sudah dicicil sejak lama.

Kita harus bangga berbahasa Indonesia. Belajar bahasa lain juga sah-sah saja.

Jangan takut untuk mencari tahu. Jangan segan melihat PUEBI dan KBBI. Jangan keseringan menulis seperti:  di makan, di ambil, dirumah.

Orang Melayu di Pulau Jawa
Baik budi, pandai berbahasa
Boleh saja nonton Korea
Asalkan hati tetap Indonesia

Sekian.

Selamat Hari Sumpah Pemuda!

Referensi :
Haugen, E. (1966). Dialect, Language, Nation. American Anthropologist, 68, 922–935.

Permadi, E. G., & Purwaningsih, S. M. (2015). Politik Bahasa Pada Masa Pendudukan Jepang. AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah, 3(3), 590–603.

Baca & Kunjungi Juga :

Sekilas Tentang Sejarah Bahasa Indonesia

Putusan Kongres Bahasa Indonesia Pertama

Sejarah Perkembangan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

Museum Sumpah Pemuda

Tur Virtual Museum Sumpah Pemuda

Sejarah Kongres Bahasa Indonesia I: Meresmikan Bahasa Persatuan

Salma FK

Terkadang mager, tapi suka jalan-jalan untuk beli cilok atau sempol (dan boba). Bisa dihubungi lewat salmafk97@gmail.com

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: