Bagi orang-orang yang tinggal di Jogja pada akhir abad 19-20, pacuan kuda berarti kemeriahan. Bagi para elite, ia bermakna kebanggaan. Tapi itu dulu. Kini yang tersisa tinggal nama dan bentuk kawasannya saja. Menunggu untuk kembali menjadi perhatian.
Penulis: Yustina Dwi Stefanie | Penyunting: Sandy Maulana
Untungnya, pemerintah kolonial Belanda sejak 1864 melakukan kegiatan pemetaan yang sistematis dan ilmiah, sehingga saat ini kita masih dapat memperoleh informasi arena balap kuda masa Kolonial di Kota Jogja. Bila tidak, mungkin cerita yang kita dengar dari kakek atau nenek kita yang pernah merasakan hidup di zaman penjajahan hanya kita anggap sebagai dongeng semata yang tidak berwujud.
Menjadi fenomena umum memang, pada akhir abad 19 sampai awal abad 20 bermunculan arena-arena balap kuda di beberapa daerah di Hindia-Belanda. Pun, keberadaan pacuan kuda di Indonesia selalu dikaitkan dengan gaya hidup urban orang Eropa yang turut dibawa masuk ke Hindia-Belanda. Namun nyatanya pacuan kuda juga menempati tempat khusus di hati masyarakat umum dan para aristokrat Jawa.

(Sumber: Dokumen KITLV, digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Tahukah kamu pacuan kuda di Yogyakarta bermula dari mana?
Kehadiran pacuan kuda diawali dari tumbuhnya komunitas perkumpulan penggemar pacuan kuda di berbagai daerah di Hindia-Belanda, salah satunya juga di Vorstenlanden. Saat itu terdapat organisasi yang membawahi olahraga berkuda di Vorstenlanden, yaitu Wedloop Societeit de Vorstenlanden (Kuntowijoyo, 2002). Dari situ, perkumpulan pacuan kuda di Kasultanan Yogyakarta terbentuk setelah balap kuda berkembang dan menjadi kegemaran masyarakat Belanda, para pembesar, dan rakyat (Tahshadi, 2005: 53). Perkumpulan itu bernama Wedloop Societeit Mataram (WSM), berada di bangunan khusus berbentuk panggung atau tribun di gedung Societeit de Vereeniging (ibid.). Perkumpulan ini berkembang dari kebiasaan orang-orang Eropa mengadakan pertemuan pada hari-hari tertentu di gedung itu.
Seiring dengan berkembangnya musim pacuan kuda, fasilitas arena pacuan kemudian dibangun di arena balap yang terpisah dari gedung perkumpulan. Dalam keterangan Bruggen dan Wassing (1998: 43), trek balap WSM terbentuk pada tahun sembilan puluhan setelah dibangunnya Stasiun Lempuyangan di pinggir kota tahun 1872. Lalu sekarang dimanakah arena balap itu? Apakah di Stadion Pacuan Kuda Sultan Agung Bantul? Cermati sekitar kita lebih teliti. Barangkali yang jaraknya dekat dengan kita, justru terlupakan dan tenggelam dalam perubahan.

(Sumber: Peta Kota Yogyakarta tahun 1925. Dokumen KITLV,
digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Mencari Jejak-jejak Pacuan Kuda Di Pinggir Timur Kota Jogja
Mencermati nama-nama kampung di Kota Jogja layaknya kita menggali informasi terpendam selama berpuluh-puluh tahun yang lalu, tidak bergerak maupun berpindah, namun sedikit mengalami perubahan kata dan luas wilayah. Nama-nama tempat itu sering kita kenal dengan istilah toponimi yang berarti pemberian nama tempat.
Mengenai toponimi, seorang pakar toponimi, Jacub Rais (2005) berpendapat bahwa idealnya penyebutan toponimi menggunakan pelafalan dalam bahasa lokal tempat yang bersangkutan. Dan melalui toponimi, jejak arena pacuan kuda WSM dapat kita lacak dengan keberadaan Kampung Balapan yang saat ini masuk dalam administrasi Kelurahan Klitren.
Menurut Tim Penelitian Pengkajian Sejarah dan Antropologi (2004: 120), toponimi balapan digolongkan berdasarkan nama-nama tapak atau petilasan peninggalan. Balapan sendiri berasal dari kata dasar ‘balap’ yang memiliki arti adu kecepatan. Penambahan -an sebagai imbuhan membentuk arti kata ‘balapan’ menjadi kata kerja yang berarti melakukan kegiatan atau aktivitas adu kecepatan, berbalapan. Penggunaan kata balapan hingga kini merupakan tradisi lisan turun-temurun masyarakat sekitar yang masih mengingat kawasan itu sebagai arena pacuan kuda.

(Sumber: Pengolahan Peta Lama Kota Yogyakarta tahun 1925. Dokumen. KITLV
dengan Modifikasi Google Earth)
Selain itu, bila kita melihat dari atas atau melalui peta terbaru, Kampung Balapan memiliki bentuk yang unik yaitu berpola mengoval. Ketika kita bandingkan dengan peta Kota Jogja tahun 1925, bentuk kawasan Kampung Balapan memiliki kesamaan lokasi dengan simbol pacuan kuda (race terrein). Memang pada kenyataannya Kampung Balapan tidak lagi sepenuhnya berbentuk oval, terjadi perubahan di beberapa titik. Namun begitu, kemiripan pola ini menunjukkan bahwa permukiman yang dibangun oleh warga di dalam arena tersebut mengikuti bentuk aslinya.
Riuh Gempita Pacuan Kuda di Pinggir Timur Kota Jogja
Kompetisi pacuan kuda di arena balap WSM diselenggarakan sebagai kompetisi tahunan berskala besar, diikuti oleh beberapa organisasi berkuda di Hindia-Belanda. Kompetisi ini cepat populer di kalangan pribumi, di mana pacuan kuda merupakan olahraga favorit sebagai tontonan saat itu (Damar, 2016: 33).
Tidak heran kompetisi ini mendatangkan pengunjung dalam jumlah besar, tidak terkecuali kalangan rakyat biasa. Hal ini menunjukkan berkembangnya gaya hidup masyarakat setempat terutama hiburan yang awalnya bersifat mistik dan simbolik seperti Grebeg, Sekaten, dan Wayangan mulai bergerak ke hiburan masyarakat perkotaan yang lebih modern. Popularitas kompetisi ini juga menarik minat para pedagang, baik pedagang Cina maupun pribumi untuk berjualan di sekitar lokasi pacuan. De Locomotief dalam ibid., 36, mengungkapkan keberadaan pacuan kuda sangat berpengaruh positif terhadap pedagang-pedagang tersebut.
Di samping itu, kehadiran pejabat Pemerintah Belanda dan rombongan Sultan menambah daya tarik dan prestise kegiatan itu. Keistimewaan lain juga ditunjukkan dengan adanya iringan musik di arena balap oleh abdi dalem musik Kasultanan Yogyakarta yang saat itu dipimpin oleh Raden Wedana Prajawaditra. Abdi dalem ini bertugas menghibur tamu-tamu agung dan mengiringi jalannya kompetisi dengan memainkan beberapa instrumen alat musik dan lagu-lagu pilihan. Lagu-lagu yang dimainkan antara lain: lagu kebangsaan Belanda, Wilhelmus van Nassouwe, yang dinyanyikan saat gubernur dan sultan hadir maupun pulang, dan lagu-lagu mars lainnya. Di samping itu, diperdengarkan pula lagu-lagu bernada fanfare khusus bagi pemenang pacuan (Tashadi, 2014:53).
Popularitas Pacuan Setelah Pendudukan Jepang di Indonesia 1942
Tanggal 8 Maret 1942 menjadi catatan sejarah penyerahan tanpa syarat Hindia-Belanda oleh Panglima Angkatan Perang Hindia-Belanda, Ter Poorten dan Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouver kepada militer Jepang yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Hitoshi Imamura di Kalijati. Tahun tersebut turut menandai akhir kisah kejayaan pacuan kuda yang pernah menjadi gaya hidup dan tontonan favorit masyarakat perkotaan.
Tidak ada lagi kesempatan bagi orang-orang Eropa untuk melangsungkan kegiatan elite itu setelah Indonesia jatuh ke tangan Jepang. Pacuan kuda berhenti karena orang-orang Eropa sebagai sebagai penggerak kegiatan ini banyak yang ditangkap dan bersembunyi. Pribumi juga bergelut untuk bertahan hidup setelah masuknya tentara Jepang yang menerapkan berbagai kebijakan yang menyebabkan kondisi sosial dan ekonomi di Yogyakarta memprihatinkan.
Arena pacuan kuda tidak lagi tersentuh. Ditinggalkan, dan terbengkalai. Baru setelah kemerdekaan, mulai tumbuh permukiman warga di dalam arena balap yang berkembang hingga kini. Wajah dan gempita arena pacuan kuda kini tertutup, tersembunyi di balik permukiman padat penduduk dan beberapa fasilitas publik lain. Kemegahan pacuan kuda tinggal menyisakan toponimi, bentuk kawasan, dan beberapa titik lokasi bangunan-bangunan fasilitas pacuan yang masih menjadi PR untuk ditelusuri.
Tulisan ini dibuat untuk mengajak pembaca kembali mencari tahu, mengungkap dan menggali makna setiap peristiwa sejarah yang terjadi di sekitar tempat tinggal kita. Pacuan kuda yang diwakili oleh Kampung Balapan adalah secuil bagian dari sejarah yang semakin tersisih. “Mereka” menunggu kita untuk kembali memperhatikan dan memberi makna baru dari kehadirannya yang telah terlupakan.
[1] Dwi Pradyawan. 2015. Sejarah Kawasan Pakualaman 1830 – 1946 (Kajian Morfologi Kawasaan Pakualaman). Tesis. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya Universiats Gadjah Mada. Hlm. 57. Lihat juga Ormeling. 2005. dalam ibid., 59.
Referensi
Bruggen, M.P. van dan R.S. Wassing e.a. 1998. Djokja en Solo, Beeld van de Vorstensteden. Purmerend: Asia Maior.Damar, Apriliandi. 2016. “Tapal Kuda di Kota Bengawan” dalam Majalah Geschiephoria Vol.4 Edisi: Februari – Juni 2016. Surakarta. hlm 31-37.
Kuntowijoyo. 2002. “Harmony as Ideology: Politics Among The Dutch Community in Solo, 1900-1915” dalam Jurnal Humaniora Vol. XIV Edisi: No. 2 2002. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. hlm 235-247.
Pradnyawan, Dwi. 2015. “Sejarah Kawasan Pakualaman 1830 – 1946 (Kajian Morfologi Kawasan Pakualaman)”. Tesis. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.
Rais, Jacub. 2005. Pedoman Penulisan Nama Unsur Geografi di Indonesia. Makalah Semiotika. Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Tashadi. 2005. “Senisana dalam Perjalanan Sejarah (1945 – 1992)” dalam Jurnal Patra Widya Vol. 6 Edisi: No. 1. Yogyakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. hlm 45-86.
Tim Pengkaji Lembaga Penelitian Pengkajian Sejarah dan Antropologi. 2004. Laporan Akhir, Kajian Toponim Kota Yogyakarta. Yogyakarta: Lembaga Peneliti Pengkaji Sejarah dan Antropologi dan Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kota Yogyakarta.

Tentang Penulis
Yustina Dwi Stefanie
Seorang yang takut kuda, tetapi bermimpi untuk bisa memelihara kuda.
One thought on “Kampung Balapan: Sisa Euforia Pacuan Kuda yang Nyaris Tak Dikenali”