Museum Pabrik Gula Tak Semanis Sejarahnya: Bagaimana Sikap Kita?

Museum merupakan artefak politis, ia tidak bebas nilai.

Penulis: Irsyad Martias | Penyunting: Sandy Maulana

Beberapa tahun ke belakang, berkunjung ke museum menjadi agenda rutin di berbagai jenjang institusi pendidikan.

Tengok saja setiap akhir pekan atau akhir semester, museum ramai dipenuhi seragam putih abu-abu, pramuka, atau lain waktu kaos oblong dengan tulisan study tour di punggung.

Ini tentu pemandangan yang layak diapresiasi karena minat kunjungan yang tinggi seringkali beriringan dengan menjamurnya museum-museum baru.

De Tjolomadoe (PG Colomadu) dan The Heritage Palace (PG Gembongan) adalah contohnya. Keduanya merupakan bangunan kolonial “bekas” pabrik gula yang telah direvitalisasi menjadi museum sejak tahun 2018.

De Tjolomadoe terletak di Karanganyar dan The Heritage Palace di Sukoharjo.

Museum Colomadu (sumber: constructionplusasia.com)

Terlepas dari kesesuaian kaidah heritage studies, museologi, dan ilmu arkeologi, revitalisasi De Tjolomadoe dan The Heritage Palace seakan menjadi upaya baru untuk menghadirkan kembali unsur-unsur zaman yang sudah lewat.

Mulai dari penamaannya yang kebarat-baratan, tampilan fasad dan atribut-atribut lainnya yang serba Eropa, hingga pemajangan mobil-mobil klasik, yang seluruhnya bermuara pada niat menduplikasi aksen-aksen Belanda.

The Heritage Palace (sumber: jogjaempatroda.com)

Mungkin, si pencipta kedua museum paham betul konteks historisnya.

Mereka sepertinya ingin menghadirkan memori masa kejayaan politik-ekonomi liberal kolonial di Hindia Belanda, yang ditandai dengan terbitnya Undang-Undang Gula (Suiker Wet) 1870.

Dalam kurun waktu ini, tuan-tuan pemilik pabrik gula bermunculan.

Ekspansi perkebunan tebu jadi tak terbendung karena permintaan pasar global yang meroket. Ekspor gula melambung tinggi. Dan kas Belanda menggemuk (Knight dan Van Schaik, 2001).

Mungkinkah narasi itu yang ingin disampaikan menjadi bayang memori?

Atau jangan-jangan, revitalisasi De Tjolomadoe dan The Heritage Palace sengaja didesain hanya untuk menarik wisatawan?

Museum Colomadu bagian dalam (sumber: constructionplusasia.com)

Dengan dalih memanjakan mereka dengan sulapan lansekap arsitektur kolonial yang memang asyik dipakai nongkrong atau sekadar ber-instagram ria.

Sayangnya, pencipta kedua museum gagal mencermati novel sejarah Max Havelaar karya Douwes Dekker.

Secara kritis, novel ini menceritakan praktik kapital perkebunan kolonial yang sangat eksploitatif dan menyengsarakan petani-petani Jawa.

Perlu diduga pula, mereka belum membaca karya antropolog Sidney Mintz (1986), Sweetness and Power.

Menurut Mintz, industri gula dan perkebunan tebu tidak semanis sejarahnya. Mode produksi ini menciptakan perbudakan, perdagangan manusia, dan wabah penyakit, serta memasung petani menjadi subjek-subjek terjajah.

Barangkali, konsultan kedua Museum urung memahami latar sosial budaya petani-petani Jawa pada masa penjajahan yang sangat teliti dituliskan oleh Clifford Geertz (1976) dalam “Involusi Pertanian” Proses Perubahan Ekologi di Indonesia.

Di tanah Jawa, kata Geertz, perkebunan tebu memaksa petani menjadi buruh lepas, menyeret dan mengeksploitasi mereka hingga terjungkal ke dalam jurang kemiskinan yang dampak sosiologisnya terwariskan sampai sekarang.

Sekarang mari kita mengulik peristiwa di balik museum.

Seperti apa yang disampaikan Marsanto (2012), museum adalah gedung-gedung yang bercerita dan mengisi memori.

Pertanyaannya, memori siapa yang ingin dibangkitkan dan memori siapa yang dikubur? Juga, cerita siapa yang mau dihadirkan dan cerita mana yang perlu hilang?

Kedua pertanyaan tadi memiliki simpul jawaban yang sama: museum merupakan artefak politis, ia tidak bebas nilai.

Lantas, nilai apa yang harus kita bentangkan?

Untuk menelisik pertanyaan ini, bolehlah kita menengok rezim museum di Indonesia.

Pada masa kolonial, museum beserta artefak budayanya didedikasikan untuk orang-orang terdidik Eropa sebagai sarana mempelajari budaya “liyan” orang-orang primitif yang aneh. Jejak-jejak ini masih kita jumpai di Museum Nasional, Jakarta.

Pada masa pasca-kolonial, museum merupakan alat politik untuk merajut nilai-nilai kesatuan dan memori revolusi melawan penjajahan.

Di lain kesempatan, museum juga menjadi representasi hegemoni kekuasaan, tokoh, dan rezim, terutama di masa Orde Baru.

Seiring dengan menguatnya nilai-nilai kedaerahan pada masa reformasi, di berbagai provinsi hadir museum-museum yang mengusung identitas lokal (Kumoro, et al., 2020).

Akhir-akhir ini, saya mengamati tidak sedikit bangunan-bangunan bersejarah, seperti kedua PG di atas, dikapitalisasi menjadi museum pariwisata yang pelaksanaannya melibatkan investor.

Jelas, ada pertimbangan untung-rugi di dalamnya.

Penyelamatan aspek fisik bangunan bersejarah dari ancaman kerusakan dengan mengubahnya menjadi museum pariwisata tidaklah salah.

Bahkan, cara ini tergolong baik karena mampu menghadirkan sarana pembelajaran sejarah bangsa bagi masyarakat.

Akan tetapi, aspek non-fisik seperti dimensi memori dan nilai-nilai yang melekat di bangunan, harusnya lebih diprioritaskan dalam alih fungsi bangunan bersejarah menjadi museum.

Seperti apa yang diajukan Hooper-Greenhill (2007), tantangan museum masa kini adalah bagaimana dia dapat merekognisi dan merespons nilai-nilai kemanusian–termasuk kaum marjinal–agar dapat sampai ke pengunjung.

Pendek kata, dengan mengevaluasi nilai dan memori yang ditayangkan museum dari masa ke masa, saya ingin menyampaikan bahwa Indonesia sesungguhnya sudah memiliki museum bernarasi agung dalam jumlah berlimpah-ruah.

Sekarang adalah waktunya menempatkan museum sebagai wahana pembelajaran nilai kritis. Medium yang ikut andil dalam menyuarakan memori kaum marjinal seperti petani yang kerap “dihilangkan”.

Saya tidak ingin menutup tulisan ini dengan menawarkan metode apa yang harus digunakan stakeholder utama seperti pemerintah, akademisi, dan aparat museum dalam membubuhkan nilai-nilai kemanusiaan pada museum.

Referensi-referensi terkait sudah tersedia dan dapat diakses. Pun halnya dengan praktisi yang bekerja di kajian ini.

Gagasan yang ingin saya sampaikan: kita, sebagai penggiat, pemerhati budaya atau museum, hendaknya melihat museum dari sisi yang berbeda: melihat peristiwa yang kasat mata namun penting untuk disampaikan, mencatat himpitan-himpitan sejarah, dan menelaah ideologi di balik museum.

Sekali lagi, museum bukanlah sekadar “bangunan”, tapi ia artefak yang bercerita dan menyeleksi memori.

Referensi:

Geertz, C. (1976). Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia (terj). Supomo, Jakarta: Bhatara Karya Aksara.

Hooper-Greenhill, Eilean. (2007). Museums and Education: Purpose, Pedagogy, Performance. Routledge: New York & London.

Knight, G., & Van Schaik, A. (2001). State and Capital in Late Colonial Indonesia: The Sugar Industry, Braakhuur, and the Colonial Bureaucracy in North Central Java. Bijdragen Tot De Taal-, Land- En Volkenkunde, 157(4), 831-859. Retrieved October 24, 2020, from http://www.jstor.org/stable/27865780.

Kumoro, N.B., Martias, Irsyad., Ismanto, Manggala., Hipolitus K. Kewuel. (2020). Reading The Museum Angkut: Cultural Space Production and Exhibition Narrative. Naskah jurnal dalam proses penerbitan.

Mintz, S. W. (1986). Sweetness and Power: The Place of Sugar in Modern History. New York: Penguin Books.

Marsanto, Khidir. (2012). “Ekshibisi, Kekuasaan, dan Identitas: Tafsir atas Politik Representasi Atas Tiga Museum di Yogyakarta”. Antropologi Indonesia, Vol. 33 No. 1 2012.

Irsyad Martias

Pembelajar Arkeologi dan Antropologi. Bekerja sebagai staf pengajar di Prodi Antropologi Universitas Brawijaya. Saat ini sedang menempuh studi S3 di Departemen Kajian Asia Pasifik dengan konsentrasi Kebudayaan dan Masyarakat, National Chengchi University, Taipei.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: