Memori Kolektif dan Momentum Mengingat Museum Bersama-sama

Apa guna museum hari ini?

Penulis: Salma FK | Penyunting: Sandy Maulana
Sambutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI pada Acara Puncak Peringatan Hari Museum Indonesia
Sumber: Youtube Asosiasi Museum Indonesia

“Museum adalah penyambung solidaritas, perekat memori kolektif kita sebagai bangsa yang besar. Agar tetap satu tujuan, Indonesia maju”.

Begitulah penggalan pidato Mendikbud Nadiem Anwar Makarim dalam rangka peringatan Hari Museum Indonesia 2020. Pidatonya pun cukup singkat, kurang dari 2 menit.

Pemilihan kalimat “perekat memori kolektif kita sebagai bangsa yang besar” yang disandingkan dengan kata “museum” menjadi ide yang dapat dipertanyakan lebih jauh.  Memori kolektif seperti apa yang ingin direkatkan oleh Mendikbud? Bagian mana yang bisa “diisi” oleh museum?

Tapi sebelumnya tunggu dulu… apa itu memori kolektif?

Memori kolektif ialah cara suatu kelompok mengingat masa lalunya.

Menurut Durkheim, suatu kelompok membutuhkan keberlanjutan dengan masa lalunya untuk tetap berada dalam persatuan sosial.

Memori kolektif dapat berupa tulisan, upacara, monumen, benda-benda, atau apapun yang dapat merepresentasikan kelompok tersebut di masa lalu.

Maurice Halbwachs, murid Durkheim yang pertama kali menggunakan istilah collective memory, percaya bahwa ingatan setiap individu dibangun dari lingkungan yang ada di sekitarnya. Termasuk keluarga, organisasi, bahkan negara. Satu-satunya ingatan pribadi yang tidak terpengaruh hanyalah mimpi.

***

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya” adalah salah satu kutipan paling terkenal dari Bung Karno yang disampaikan pada peringatan Hari Pahlawan, 10 November 1961.

Itukah makna “bangsa yang besar” yang dimaksud oleh Pak Nadiem?

Sayangnya beliau tidak menjabarkan lebih jauh.

Bangsa yang besar? Banyak penduduknya? Besar pulaunya? Besar gedung perwakilan rakyatnya?

Rasanya tidak sesempit itu.

Supaya cepat, sekarang kita anggap saja bangsa yang besar ialah bangsa yang memiliki masa lalu yang panjang. Masa lalu yang telah melahirkan berbagai warisan, baik yang berbentuk tangible maupun intangible.

Di dalam warisan itu terkandung memori kolektif, ingatan bersama mengenai cara masing-masing orang merekatkan diri dalam satu entitas yang lebih besar.

Sebagian warisan masa lalu hanya tersimpan di batok kepala orang-orang uzur, yang jika tidak sempat diceritakan akan hilang terkubur bersama jasad.

Sebagian warisan yang lebih beruntung, disimpan pada suatu tempat yang bernama museum.

Disimpan, lalu dipamerkan. Fenomena simpan dan pamer ini pasti tidak cukup untuk merekatkan memori kolektif sebagai bangsa yang besar.

***

Menarik diri ke empat sampai lima tahun ke belakang, kita tentu tidak asing dengan stereotip bahwa museum adalah tempat untuk menaruh barang-barang yang aus dimakan umur.

Benda-benda itu ditata dalam vitrin dengan penyinaran remang-remang (walaupun ada juga yang terang-benderang). Koleksi yang besar dibiarkan di atas lantai. Baik dengan atau tanpa alas.

Temukan pemandangan ini di museum–museum daerah, bahkan di beberapa sudut Museum Nasional Indonesia.

Diorama-diorama dibuat senyata mungkin. Sebesar manusia atau seukuran mainan. Tampilan semacam ini dengan mudah dapat ditemukan di museum-museum bertema perjuangan, kemerdekaan, atau pasca-kemerdekaan.

Tidak lupa caption panjang dengan ukuran huruf yang kecil-kecil.

Dari 509 museum di Indonesia, apakah semuanya seragam begini? Tentu tidak. Tidak semua.

Koleksi dalam Vitrin
(Museum Seni Rupa dan Keramik-Jakarta)
Sumber: dok. Penulis

Salah satu koleksi di atas lantai
(Museum Nasional Indonesia-Jakarta)
Sumber: dok. Penulis

Presiden dan Wakil Presiden melihat diorama (Monumen Pancasila Sakti-Lubang Buaya-Jakarta)
Sumber: akurat.co

***

Beberapa museum sebenarnya sudah berupaya menggalakkan program lain yang tidak hanya berkutat pada display koleksi. Tujuannya barangkali agar museum tidak selalu dilihat sebagai gudang atau tempat yang suram.

Di Museum Nasional misalnya, pada waktu-waktu tertentu rutin diadakan kelas menari, gamelan, membatik, dan juga pertunjukkan teater. Saat pandemi pun, kelas menari masih dilangsungkan secara virtual.

Museum Nasional juga memiliki kompetisi tahunan cerdas-cermat untuk tingkat SMP se-Indonesia. Tahun ini kompetisi tetap dilangsungkan meski secara daring. Juaranya berasal dari Provinsi Sulawesi Tengah.

Contoh lain, di Museum Basoeki Abdullah, yang dinamai sesuai dengan nama pelukis terkenal di Indonesia. Selain menyimpan karya lukis dan seni lain, sejak 2012 di museum ini rutin diadakan berbagai lokakarya menggambar. Mulai menggambar potret, komik, dan bahkan acara menggambar di luar museum.

Di atas hanyalah dua contoh museum, yang telah berupaya menyampaikan apa yang mereka punya.

Sekali lagi, untuk menyampaikan apa yang mereka punya.

Masih banyak museum lain yang juga punya inovasi yang serupa.

***

Museum sebagai perekat memori kolektif, terlebih bagi bangsa yang besar, terlalu luas untuk dijelaskan. Terlalu sulit untuk mendefinisikan, memori kolektif bangsa Indonesia yang mana?

Sementara museum-museum lain berbenah, mempreservasi ingatan bersama dengan cara-cara yang lebih baik, dukungan langsung pemerintah kaitannya dengan regulasi yang mendorong pemajuan museum tentu diharapkan.

Di waktu bersamaan, evaluasi mandiri juga perlu dilakukan pengelola museum. Bila berani jujur pastilah mudah menilai museum mana yang telah layak kunjung dan mana yang masih butuh beres-beres di sana-sini. Agar semuanya bisa sinergis, bergerak beriringan maju ke depan.

Sehingga, ketika merayakan Hari Museum Indonesia di tahun-tahun mendatang, tidak ada lagi seremonial kosong yang dibalut dengan slogan-slogan berlebih tanpa pembenahan nyata dari segala lini.

Museum Milik Siapa? (Infografik: Jenifer Papas)

Salma FK

Terkadang mager, tapi suka jalan-jalan untuk beli cilok atau sempol (dan boba). Bisa dihubungi lewat salmafk97@gmail.com

One thought on “Memori Kolektif dan Momentum Mengingat Museum Bersama-sama

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: