Kehadiran AGA dengan niat baiknya: membenahi satu lingkup kecil di dunia arkeologi Indonesia boleh jadi adalah nafas baru yang sudah selayaknya dibantu besarkan bersama-sama.
Penulis: Sandy Maulana
Kamis, 1 Oktober 2020, ratusan praktisi, peminat, dan pemerhati di bidang geospasial arkeologi mendeklarasikan pendirian Asosiasi Geospasialis Arkeologi (AGA) melalui pertemuan daring di Google Meet.
Lahirnya AGA tak terlepas dari kegelisahan dan problematika yang menggelayuti pengelolaan warisan budaya di Indonesia, khususnya dalam pemahaman geospasial. Setidaknya ada dua permasalahan utama yang disoroti.
Rochtri Agung Bawono, Staf Pengajar Departemen Arkeologi Universitas Udayana, menerangkan permasalahan pertama yang dimiliki institusi-institusi arkeologi adalah fenomena penyimpanan data geospasial yang amburadul.
Data geospasial yang dimaksud di sini adalah data yang punya lokasi geografis tepat, memiliki dimensi, ukuran, dan karakteristik objek alam dan manusia. Data geospasial sendiri dibagi ke dalam tiga struktur data: garis, titik, dan poligon.
Kaitannya dalam konteks arkeologi, maka selain memenuhi kriteria data geospasial, data itu juga perlu memenuhi kriteria arkeologis, yakni merupakan bukti bendawi tinggalan manusia masa lalu.

Rochtri memberi contoh fenomena penyimpanan data geospasial yang amburadul itu dalam kasus koordinat Candi Borobudur yang rupanya memiliki tujuh titik berbeda. Padahal Candi Borobudur hanya satu, tapi akibat titik-titik yang berbeda tadi, data yang dihasilkan menjadi banyak.
Tentu hal ini mendatangkan permasalahan baru: titik mana yang sebenarnya benar dan perlu dipakai apabila ada peneliti yang ingin membuat kajian pemetaan baru di sekitar wilayah Candi Borobudur?
Fenomena serupa terjadi di Kawasan Trowulan, Mojokerto. Telah diakui bersama sebagai ibu kota terakhir Kerajaan Majapahit, emporium raksasa yang keberadaannya kerap dijadikan simbol kejayaan Indonesia di masa lalu, menjadi lokasi dari ratusan penelitian arkeologi dari berbagai instansi.
Akan tetapi yang terjadi sekarang: masih sulit menemukan hasil-hasil penelitian terdahulu di Trowulan. Data tersebar di mana-mana dan belum tersusun dalam satu narasi khusus yang memberikan informasi komperehensif.
Itu baru dua contoh, dan mengingat posisi Candi Borobudur sebagai salah satu warisan dunia UNESCO dan Trowulan—dalam tanda petik: kawasan arkeologis terbesar dan memiliki nilai penting paling signifikan di Indonesia—sedang pengelolaan data geospasialnya masih berantakan seperti itu, para praktisi, akademisi, dan pemerhati arkeologi geospasial memiliki pekerjaan rumah yang panjang.
Permasalahan kedua, menurut Jarwo Susetyo Edy Yuwono, staf pengajar Departemen Arkeologi Universitas Gadjah Mada, adalah kekeliruan menempatkan paradigma geospasial dalam proses penelitian arkeologi. Seharusnya, analisis geospasial dilakukan di hulu proses penelitian arkeologi, yang kemudian apabila menemukan fenomena menarik, baru dilakukan pekerjaan hilir: ekskavasi.
Yang terjadi justru sebaliknya. Akibat penempatan analisis geospasial di hilir penelitian, yakni setelah ekskavasi dilaksanakan, pembukaan kotak terkesan sangat eksploratif dan tanpa dasar yang jelas. Kalau beruntung dapat temuan, kalau buntung hanya bisa menulis laporan bahwa kotak X kosong.
Dalam lingkup lebih luas, penempatan paradigma geospasial di hilir proses penelitian arkeologi menyebabkan kerap terjadi tumpang tindih wilayah kerja di antara instansi-instansi arkeologi Indonesia—kalau kamu tertarik, kamu bisa membaca topik itu di sini.
Berangkat dari dua permasalahan tersebut, AGA menyusun dua prioritas kerja:
1. Menyusun strategi pengelolaan Kawasan Trowulan untuk 5 tahun ke depan
2. Memberi rekomendasi pengelolaan wilayah kerja instansi-instansi arkeologi di tingkat nasional
Kehadiran AGA dengan niat baiknya: membenahi satu lingkup kecil di dunia arkeologi Indonesia boleh jadi adalah nafas baru yang sudah selayaknya dibantu besarkan bersama-sama.
