Trowulan, Kelindan dan Upaya AGA Menyongsong Hari Esok

Sejak setidaknya 200 tahun lalu saja imajinasi dan cerita yang berkembang di masyarakat tentang Majapahit sudah beredar luas. Sementara, kita tak pernah tahu pasti ada apa di tahun-tahun sebelumnya. Adakah cerita lain, atau kehidupan di kawasan Trowulan yang menimpa lapisan budaya Majapahit?

Penulis: Tyassanti Kusumo | Penyunting: Sandy Maulana

Membicarakan Trowulan, kawasan historis yang masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, tak akan bisa lepas dari tiga nama: Majapahit, Nusantara, dan Gadjah Mada. Tiga nama ini membentuk imaji kejayaan Indonesia di masa lalu. Indonesia yang gagah. Indonesia sebelum babak belur dipercundangi kolonialisme di kurun-kurun abad terakhir.

Pada tahun-tahun yang dianggap sebagai periode ‘kebangkitan nasional Indonesia’ hingga persiapan kemerdekaan, di tengah kesadaran bahwa negeri yang sebentar lagi merdeka perlu tegap menegakkan kepala dan membebaskan diri dari memori kelam penjajahan, seorang pemuda dari Sawahlunto bernama Mohammad Yamin, mencetuskan ide tentang kebesaran Majapahit dan penokohan sosok Gadjah Mada sebagai proyeksi perbawa bangsa ini. Bila saja Yamin tak mengeluarkan ide itu bisa jadi ada dua kemungkinan bagi kondisi hari ini.

Pertama, atribut dan perangkat kenegaraan akan memiliki bentuk dan istilah yang berbeda. Sebagai contoh, semboyan Bhinneka Tunggal Ika, yang dicuplik dari kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular, disusul dengan berbagai semboyan lain yang umumnya digunakan di kelompok militer Indonesia (TNI maupun polisi). Selain itu, warna merah dan putih di bendera  juga dinarasikan oleh Yamin sebagai warna yang digunakan oleh Hayam Wuruk saat upacara kebesarannya (Yamin, 1953). Tak heran pula, nama satelit komunikasi pertama yang diluncurkan Indonesia pada 1976 juga diberi nama ‘Palapa’, sebagai prasarana yang mempersatukan Indonesia melalui komunikasi jarak jauh.

Kedua, terlepas dari pilihan Yamin yang cukup jawa-sentris dengan tidak mempertimbangkan Sriwijaya yang pernah menjadi emporium maritim, bisa saja gagasan tentang wilayah administratif Indonesia tidak akan seperti sekarang. Robert Elson, seorang profesor emeritus dari School of Historical and Philosophical Inquiry sempat menelusuri bahwa rupanya ingatan kolektif masa lalu sangat berperan dalam pembentukan negara-bangsa Indonesia (Tirtosudarmo, 2014). Tak salah lagi, poin tersebut adalah hasil dari pantikan perspektif dan karya Yamin yang berkiblat pada keberadaan kekuasaan lokal sebelum kedatangan imperialis dari barat.

Gagasan nasionalisme oleh Yamin masih langgeng hingga kini. Menjadikan sebagian besar dari kita–pun sekolah formal sangat berperan–mengabadikan Majapahit sebagai cikal bakal dan ikon yang besar. Geli rasanya bila mengingat semua hal tersebut bisa terwujud karena perhatian seorang pemuda terhadap sejarah dan kunjungannya ke Trowulan pada tahun 40-an. Bukan berlebihan, meski Majapahit juga mendapat kerling mata dari tokoh lain seperti Soekarno, perhatian Yamin terhadap Majapahit nampak cukup intens hingga ditorehkan dalam gubahan biografi Gadjah Mada.

Menarik dicatat, untuk menandaskan rasa ingin tahunya, Yamin napak tilas ke Trowulan, menelusuri wilayah yang disinyalir sebagai kawasan ibu kota Majapahit, hingga merekonstruksi wajah Gadjah Mada dari fragmen yang ia lihat di sana. Di kawasan tersebut memang terdapat berbagai tinggalan yang kasat mata dan mendukung keyakinan sebagian besar orang bahwa dahulu merupakan daerah padat aktivitas; sebut saja Kolam Segaran, Gapura Bajang Ratu, Gapura Waringin Lawang, Candi Tikus dan lain sebagainya yang tak begitu berjauhan. Namun, apa artinya tinggalan-tinggalan tersebut bagi kita hari ini? 

***

Masyarakat Indonesia penuh rasa ingin tahu, itu betul. Para arkeolog dan peneliti lain pun tentu menjadi satu bagian di dalamnya. Kerja-kerja penelitian yang berlangsung di Trowulan untuk mengungkap apa yang pernah terjadi berabad-abad lalu telah ratusan kali dilakukan. Sejumlah skripsi telah ditulis oleh para sarjana muda. Penggalian untuk melihat ada apa di bawah tanah? Ah, jangankan ekskavasi, industri bata pun telah membantu untuk mengupas lapisan budaya Trowulan. Lantas, apa yang kita dapat? Lokasi persis keraton? Jaringan jalan dan pemukiman? Bank data hasil penelitian yang bisa diakses semua orang? Waduh, sepertinya bayangan menarik itu harus ditempatkan ke waktu yang lebih jauh, barangkali lima atau sepuluh tahun lagi.

Diawali oleh Wardenaar pada 1815, yang merupakan utusan Raffles, penelitian tentang Majapahit berkembang hingga bulan lalu dengan adanya penelitian di Situs Kumitir sebagai titik strategis upaya penelusuran lokasi Kotaraja Majapahit. Namun, sebelum lebih jauh, kita patut bertanya, sejak kapan bangsa ini yakin bahwa pusat Majapahit ada di Trowulan? Apakah saat Wardenaar diutus oleh Raffles kala itu, sudah ada dugaan bahwa pusat Majapahit ada di Trowulan? Merunut hal ini, kita sangat terbantu dengan ulasan dari A.S Wibowo. Secara ringkas, Wibowo menunjukkan bahwa persepsi tersebut memang sudah lahir pada awal abad ke-19, dan bisa jadi lebih awal lagi oleh penduduk sekitar (tidak bisa kita pungkiri, yang bisa dilacak adalah catatan dari para orang asing).

Dalam laporannya, Wardenaar selalu memakai istilah in’t Bosch van Madjapahit, atau ‘di Hutan Majapahit’. Kemudian oleh Raffles, berdasar laporan dari Wardenaar, dalam penyusunan History of Java, pilihan frasa yang digunakan langsung merujuk pada Majapahit, seperti saat menyebut Candi Brahu ‘.. one of the gateway of Majapahit.’ Sesudahnya, di beberapa koran-koran atau terbitan mengenai purbakala dan Asia juga mengacu pada Majapahit untuk tiap reruntuhan yang ditemukan di Trowulan. Dapat dikatakan, sampai hari ini kita mengafirmasi kepercayaan tersebut dan terus bekerja demi menguak tinggalan Majapahit di Trowulan.

Tentu sebuah potret kegigihan yang mengharukan, tapi jangan lupa, kesadaran terhadap rentang waktu dan gelaran kehidupan yang pernah berjalan di Trowulan harus terus diaktifkan. Ya, bagaimana tidak, sejak setidaknya 200 tahun lalu saja imajinasi dan cerita yang berkembang di masyarakat tentang Majapahit sudah beredar luas. Sementara, kita tak pernah tahu pasti ada apa di tahun-tahun sebelumnya. Adakah cerita lain, atau kehidupan di kawasan Trowulan yang menimpa lapisan budaya Majapahit?  Sungguhlah kita masih hidup dalam kegelapan, tak banyak yang bisa dirangkai sebagai cerita. Jejeran grafis dan deretan temuan sekadar melengkapi kertas laporan, terasa dingin, jauh dan terpencar. Sebetulnya, apa yang sedang kita cari dan lakukan?

***

Sampai hari ini, setidaknya bisa dicatat ada beberapa tantangan dalam penelitian di Majapahit, yakni kepadatan penduduk dan percepatan laju pemukiman, industri bata yang tak lekang oleh waktu, pemerintah setempat yang kurang tanggap terhadap keberadaan kawasan signifikan ini, tak ada sinkronisasi di tataran pejabat struktural terhadap kebijakan-kebijakan publik yang telah digodok untuk Trowulan, dan arah jelas penelitian Trowulan. Bicara tentang pelimpahan kesalahan, tenang saja, nyata bahwa fenomena ini adalah kesalahan kolektif; lagi, tak ada gunanya bila tak segera beranjak dari persoalan itu.

Bagi sebagian yang berani bermimpi dan bertindak, ketidakmungkinan dianggap sebagai kemustahilan. Termasuk pula bagi beberapa orang yang tergabung dalam AGA (Asosiasi Geospasialis Arkeologi). Perkumpulan yang bisa jadi  masih terdengar asing di telinga ini baru saja menggelar deklarasi pendirian pada 1 Oktober lalu via ruang pertemuan Google Meet. Penuh semangat dan mengusung paradigma baru, AGA siap menawarkan metode kerja dan luaran yang berbeda untuk penyelesaian urusan tinggalan budaya di Indonesia, termasuk satu di antaranya, Trowulan.

JSE Yuwono, staf pengajar di Departemen Arkeologi UGM, ketika membacakan deklarasi menyebut bahwa setidaknya untuk lima sampai sepuluh tahun ke depan, telah ada dua skema kerja utama yang akan diupayakan sungguh–dalam artian dikontrol dan diperhatikan betull–supaya terhindar dari kebiasaan lama membentuk perkumpulan namun tak teraba kejelasannya. Kedua target tersebut adalah penyelesaian persoalan kawasan Trowulan—yang sudah kita beberkan di atas tadi—dan wilayah kerja UPT-UPT pengelola warisan budaya di Indonesia.

“Selama ini kita selalu mengerjakan Trowulan seperti dari nol, datanya tersebar di mana-mana. Sulit pula untuk tahu apakah wilayah ini sudah pernah dikupas (lapisan budayanya) atau belum, tak ada satu dokumen komprehensif yang bisa membantu memperjelas keabu-abuan tersebut” ujar Yuwono. Menurutnya, kawasan Trowulan sudah harus digarap dengan metode yang berbeda, dimulai dengan perubahan paradigma tentang keruangan dan penggunaan teknologi berbasis spasial untuk menghasilkan basis data yang bisa terbaca dan menjadi sebuah ‘informasi’. Bukan hanya memetakan situs, Yuwono juga menggarisbawahi bahwa perlu memetakan linggan atau tempat industri bata sebagai bahan pertimbangan, sekaligus data untuk memantau laju kerusakan situs, hitung-hitungan terhadap jumlah material di masa lalu yang dibutuhkan untuk membuat satu bangunan tertentu atau kalkulasi lain yang akan didapat bila pemetaan tersebut berjalan lancar.

Mendengar gagasan dan proyeksi kerja AGA untuk lima sampai sepuluh tahun ke depan seolah jadi oase di tengah stagnansi usaha merekonstruksi masa lalu dalam perspektif spasial. Akhir kata, kepada AGA dan segenap pendukung maupun penggembiranya, kami ucapkan selamat dan semangat berproses!

Trowulan (Grafis: Jenifer Papas)

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: