Melihat betapa signifikan urusan yang menjadi fokus kerja sehari-hari tersebut, rupanya tak membuat instansi-instansi ini bebas dari keruwetan dan saling bersinergi dengan kuat untuk menangani tinggalan budaya.
Penulis: Tyassanti Kusumo | Penyunting: Sandy Maulana
Genap seabad lebih tujuh tahun kerja purbakala nasional resmi diperingati di Indonesia, yang didasari penerbitan surat keputusan Pemerintah Hindia Belanda untuk berdirinya Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch-Indie (OD) atau Jawatan Purbakala di Indonesia (iya.. ini ilmu dan kerja yang dirintis dan digiatkan oleh londo..). Peringatan tersebut tentunya membawa ingatan kolektif tentang kemajuan penelitian, pelestarian, dan hilirisasi kerja keduanya yang tidak hanya didominasi oleh institusi resmi saja, tetapi juga ekosistem pemerhati warisan budaya, serta para pelajar hingga hari ini.
Semakin lebar lingkup ekosistem dunia purbakala Indonesia, tentu menjadi titik terang dari kerja arkeologi publik. Setidaknya begitu harapan yang dituliskan Mc. Gimsey dalam karyanya Public Archaeology (1972),
‘Benda budaya adalah warisan untuk semua orang. Karenanya, semua orang harus bisa memiliki akses dan mendapatkan informasi arkeologi, jadi semua orang memiliki hak dan kewajiban kolektif terhadap arkeologi.’ (Gimsey dalam Surbakti, 2017:149)
Objek arkeologi yang juga adalah warisan budaya, ketika telah bisa digarap bersama-sama, menandakan keinklusifan dari pengelola (terlihat dari kemudahan akses data dan juga akses ke dalam lingkaran ilmiah atau kerja formal purbakala) dan juga melesatnya narasi tentang tinggalan budaya itu sendiri di lapisan masyarakat, yang selanjutnya memantik kerja kolektif. Salah satunya adalah peran aktif komunitas dalam menangani tinggalan budaya.
Jadi, bisa dibilang seabad lebih ini, kerja purbakala sudah progresif. Melihat aneka laporan penelitian dan pemugaran, serta unggahan-unggahan di kanal youtube, spotify, website independen, twitter, instagram dan sosial media lainnya, menandakan bahwa hilirisasi berjalan dengan cukup baik, dan perlu diingat, aktornya pun beragam. Demi mengimbangi berita-berita gembira dan mencoba menelisik kembali, tulisan ini akan membeberkan beberapa hal di belakang layar dan jarang diberi garis bawah.
Kita mulai dari kesepahaman bahwa kerja purbakala selalu berada dalam kelindan tinggalan budaya manusia. Rintisan awal, dari rasa tertarik dan penasaran para orang asing yang turut tinggal di Nusantara, katakanlah G.E Rumphius dan Raffles terhadap objek-objek tersebut. Lambat laun, kerja purbakala semakin terstruktur dan terinstitusi, menjadi OD, dan terus berdinamika mengikuti perkembangan sosial negara. Ikut berganti nama instansi dengan menyematkan frasa ‘Republik Indonesia Serikat’ hingga akhirnya terpecah menjadi dua lembaga.
Pemisahan instansi purbakala dimulai sejak 1975. Saat itu Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN) berubah struktur menjadi dua instansi yang memiliki fokus masing-masing, yakni penelitian dan pelestarian. Kerja penelitian ada di bawah kantor yang bernama Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional, sekarang menjadi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslitarkenas) dengan 10 Unit Pelaksana Teknis (UPT) bernama Balai Arkeologi (Balar). Sementara, kerja pelestarian ada di bawah Direktorat Pemeliharaan dan Pelestarian Peninggalan Sejarah dan Purbakala, sekarang menjadi Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB), tersebar di 12 wilayah di Indonesia.
Selanjutnya, dari perubahan tersebut, beberapa perenungan atas kerja belakang layar akan coba ditulis perlahan supaya menjadi perhatian bersama, syukur-syukur ternyata ada banyak pihak yang memiliki keresahan yang sama, lantas bisa memberi tanggapan atau membalas dengan tulisan lain.
Poin pertama yang bisa kita garisbawahi, meski instansi-instansi tersebut telah terpisah dan memiliki haluan kerja yang berbeda. Namun, objek kerja mereka tetap sama, yakni tinggalan budaya, yang juga difungsikan dalam aneka rupa bentuk, sebagai komoditas jualan (pariwisata), penelitian, pendidikan, dan identitas negara. Sosoknya kerap muncul, diklaim oleh siapa saja dan di mana saja.
Melihat betapa signifikan urusan yang menjadi fokus kerja sehari-hari tersebut, rupanya tak membuat instansi-instansi ini bebas dari keruwetan dan saling bersinergi dengan kuat untuk menangani tinggalan budaya. Hal ini setidaknya bisa kita lihat dari 1) organisasi dan tata kerja, dan 2) wilayah kerja.
Poin pertama, antara bidang penelitian dan pelestarian tidak diletakkan dalam satu garis komando. Puslit dengan 10 UPTnya berada di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang), sementara BPCB ada di di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan. Bayangkan, mengurus hal yang sama, yang bisa diolah dari hulu hingga hilir, tetapi diletakkan di kamar yang berbeda.
Tunggu, belum sampai di situ saja. Pada struktur Puslit dan Balar, juga terjadi hal yang agak ganjil. Secara teknis, dalam Permendikbud No. 27 Tahun 2015 dituliskan bahwa Balar bertanggung jawab langsung kepada Puslit, tetapi, lucunya, Puslit memiliki beberapa fungsi yang sama, bahkan di fungsi mayor, seperti melakukan penelitian dengan wilayah kerja yang mencakup seluruh Balar di Indonesia.
Bukan, bukan lantas melarang Puslit melakukan penelitian mandiri, tetapi menjadi agak lucu saja bila ada satu instansi pusat yang bisa meneliti di seluruh wilayah, sementara sebetulnya sudah ada pembagian wilayah kerja dengan kantor masing-masing.
Menurut penuturan dari rekan yang bekerja di Puslit, ada beberapa kasus yang memang membuat Puslit harus terjun ke daerah, seperti misal bila ada situs atau kawasan yang potensial dan bisa dikembangkan di tingkat nasional atau internasional. Dalam konteks ini, memang Puslit yang lebih berwenang, tetapi kita perlu lihat lagi dalam penyusunan laporannya, sebab bila Puslit turun ke bawah, pasti ada kerjasama atau setidaknya peneliti Balar terkait yang dilibatkan. Lalu, di akhir kegiatan, umumnya masing-masing akan membuat laporan akhir. Proses inilah yang perlu digarisbawahi.
Yuwono (2017) dalam penelitian berjudul Pemaknaan Data Geospasial Warisan Budaya dalam Konteks Kebijakan Satu Peta (Perpres 9/2016) telah menyoal hal yang sama, dalam perhatiannya terhadap pengolahan data kewilayahan aneka tinggalan budaya di Indonesia. Beliau menghadirkan Borobudur sebagai contoh. Kurang lebih, ada lima instansi yang membuat laporan tentang objek ini, yakni Direktorat PCBM, BPCB Jawa Tengah, Balai Konservasi (Balkon) Borobudur, Puslitarkenas dan Balar Yogyakarta.
Hmm, mungkin terdengar sepele, ya, “Ah, cuma laporan doang, lantas kenapa?”
Eits, kembali, Yuwono menegaskan bahwa laporan yang bejibun tersebut pasti mengandung data yang berbeda, baik dalam penggunaan nomenklatur maupun batas wilayah, sehingga di kemudian hari, yang dianggap ‘biasa saja’ atau ‘bentuk tanggung jawab masing-masing instansi untuk membuat laporan’ ini bisa menyandung berbagai pihak yang memiliki kepentingan atas lahan atau proyek lainnya. Tentu ke depannya kita tidak ingin kan, ada lagi kasus eyel-eyelan pembangunan, lantas si kontraktor atau pemilik kepentingan mencomot data batas lahan yang paling menguntungkan dari sekian banyak laporan untuk situs yang sama.
Selain itu, tentu laporan-laporan ganda akan membuat pemanfaatan data dan hilirisasi penelitian menjadi agak rumit. Laporan A menyatakan ini, sementara laporan B menyatakan itu, bayangkan bila Anda menjadi wartawan yang akan menulis indepth news tentang salah satu situs dan harus berulang kali mengecek atau membuka kamus arkeologi untuk menerka, apa sebetulnya objek yang dimaksud, karena rupanya nomenklatur yang digunakan di tiap laporan berbeda. Apakah itu situs, atau kawasan? Apakah itu situs, atau bangunan?
Lanjut, bukan mengesampingkan peran Puslit untuk dapat melakukan penelitian mandiri, tetapi alangkah baiknya bila peran ganda tersebut bisa diminimalisasi atau dibuat standar operasional prosedur yang baru antara Balar dan Puslit. Dalam sebuah obrolan terpisah dengan Yuwono, yang memang memiliki perhatian khusus terhadap riset purbakala di Indonesia, ada baiknya Puslit memfokuskan diri pada fungsi yang tidak dimiliki oleh Balar, salah satunya adalah menyusun penelitian arkeologi nasional. Bila dianalogikan, Puslit adalah Chef utama yang membuat resep, lalu kemudian resep tersebut dibuat oleh para koki, yakni Balar yang tersebar di 10 wilayah kerja. Peran dan kerja seperti ini tentu bakal memudahkan dalam menyusun historiografi Indonesia yang periodenya berkenaan dengan objek kerja instansi purbakala.
Terkait BPCB, meski fokus utamanya bukan pada penelitian, namun toh tidak dapat dipungkiri saat akan melakukan pemugaran, harus ada kajian yang dilakukan. Sehingga bayangkan saja, baru secara khusus kita membahas tentang instansi turunan OD, kesemuanya sama-sama sudah terlihat melakukan penelitian; yang lucunya.. tidak berada dalam satu koordinasi. Objek kerjanya sama, lho. Saya yakin, jangan-jangan ini yang membuat senewen atau ruwet ketika akan melakukan pengembangan atau melihat gambar besar pun perubahan budaya di Indonesia berdasarkan tinggalannya.
Ya, setidaknya begitu terkait organisasi dan tata kerja. Kemudian, poin kedua terkait wilayah kerja. Seperti sudah disebut sebelumnya, wilayah kerja Balar adalah 10, sementara BPCB ada 12. Sudah lihat ada yang ganjil?

Gini, sebagai pengantar, Indonesia ini kan sering dibilang wilayahnya luas, terdiri dari pulau-pulau yang, ah.. entah, ada 17.000 atau berapa itu, ya? Intinya banyak. Lalu, untuk provinsi, ada 34. Kok bisa ya, wilayah kerjanya tidak sampai setengah dari provinsi yang ada? Terlebih bila kita lihat posisinya di peta, Pulau Jawa yang ukurannya tidak ada setengah dari Pulau Sumatra, untuk BPCB memiliki tiga kantor, untuk Balar, ada dua kantor. Bisa saja kita berdalih bahwa tinggalan di pulau ini cukup banyak, sehingga harus ditempatkan kantor dan pekerja yang banyak pula. Atau, baiknya kita berpikir bahwa ide seperti itu yang sebetulnya justru membuat kita sulit jeli melihat banyaknya tinggalan dan “pekerjaan” di pulau lain?
Pekerjaan menyangkut tinggalan budaya bukan hal yang bisa cepat dilakukan, baik penelitian maupun pelestarian. Satu proyek bisa memakan waktu 1-2 bulan. Bayangkan dengan jumlah instansi yang timpang dengan luas wilayah kerja, bukankah membuktikan bahwa kita dengan sengaja dan sadar telah memilih untuk bergerak bak siput?

Tunggu, yang lebih menggelikan lagi, di pulau terbesar di Indonesia, hanya ada satu kantor BPCB dan Balar! Iya, kamu tidak sedang salah baca, di Kalimantan hanya ada Balar Kalsel dan BPCB Kaltim. Oh iya, tidak lupa di Pulau Papua juga hanya ada satu kantor Balar (coba lihat peta deh untuk mendapat kaget kecil), bahkan kantor BPCB yang wilayah kerjanya meliputi Papua, juga harus bekerja melingkupi seluruh wilayah Kepulauan Maluku. Haduh-haduh..
Permasalahan wilayah kerja memang rumit, terlebih poin sebelumnya, tentang tata kerja dan organisasi, menuliskan hingga sampai di baris ini betul-betul turut membuat migrain. Ada banyak persoalan terkait anggaran, fokus pemerintah dan nasib pekerja yang tentu menjadi pertimbangan, sehingga baiknya segera disudahi dan dikembalikan ke publik untuk direspon. Torehan di atas hanyalah segelintir dari cerita #PurbakalaUndercover, semoga bisa menjadi perhatian bersama dan syukur-syukur ada kerja tindak lanjut yang didasari semangat serta ketakziman terhadap tinggalan budaya, bukan pada kepentingan pribadi atau kelompok.
Pustaka:
Surbakti, Karyamantha. 2017. Kebijakan Pengelolaan Warisan Budaya Ditinjau dari Undang-Undang no.11 tahun 2010 (Perihal Pemberian Insentif dan Kompensasi). Kapata Arkeologi vol 13 no.2. hlm 141-150. Balar Maluku
Yuwono, J. Susetyo Edy. 2017. Pemaknaan Data Geospasial Warisan Budaya Dalam Konteks Kebijakan Satu Peta (Perpres 9/2016): Kajian Reflektif. Penelitian RKAT Departemen Arkeologi FIB th 2017.
2 thoughts on “Purbakala Undercover”