Masalah yang sebenarnya kronis dari gonjang-ganjing kenaikan harga tiket masuk Candi Borobudur, menurut Prof. Sri Margana, ialah orientasi pemangku kebijakan terhadap profit ekonomi, bukan pada pelestarian, ataupun kenyamanan pengunjung.
Penulis: Perwira Utama, Tyassanti Kusumo, dan Sandy Maulana | Editor: Lampau.in
Belum lama ini jagat maya gempar. Wacana pemerintah untuk menaikkan harga tiket menjadi Rp750.000,00 bagi pengunjung lokal yang ingin naik ke atas Candi Borobudur dianggap berlebihan dan (sedikit) tak masuk akal. Pemerintah berdalih bahwa perubahan kebijakan dianggap sebagai sebuah kewajiban yang tidak bisa ditunda lagi karena mempertimbangkan aspek konservasi Candi Borobudur dan statusnya sebagai World Heritage Site. Hal ini sangat menarik dibahas karena perubahan kebijakan yang drastis, apabila dibandingkan dengan kebijakan yang sebelumnya, dapat dibaca sebagai adanya urgensi untuk merespons suatu kondisi.
Pertanyaan yang muncul pertama kali adalah bagaimana sebenarnya kondisi aktual Candi Borobudur? Memang benar kondisi Borobudur sudah tidak seprima pasca pemugaran tahun 1972. Yang jelas tampak, anak-anak tangganya sudah mulai lapuk dan terkikis akibat masifnya jumlah pengunjung yang naik ke candi. Selain itu, dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, fondasi Candi Borobudur telah amblas beberapa sentimeter. Kerusakan ini setidaknya dipicu oleh dua faktor. Pertama, faktor internal Borobudur yang memang sudah berusia seabad lebih sehingga rawan pelapukan. Selain itu, perlu dipahami bahwa konstruksinya tidak begitu stabil karena terletak di atas bukit alami yang dipangkas puncaknya lantas ditumpuki oleh susunan batu.1 Selanjutnya, faktor eksternal dalam bentuk kunjungan turistik masif, melebihi daya dukung candi (carrying capacity), yang makin mendukung degradasi akibat faktor internal.2

Sumber: kebudayaan.kemdikbud.go.id
Merespon kondisi tersebut, kebijakan terbaru menyerukan pengunjung boleh menaiki candi namun jumlahnya akan dibatasi. Sayang, upaya pembatasan yang dipilih terkesan kurang inklusif. Beberapa laman berita mengabarkan bahwa pemerintah melalui PT. Taman Wisata Candi sebagai pengelola komersial utama Borobudur berencana memberlakukan sistem kuota dan zona bertarif untuk pengunjung. Secara umum terdengar masuk akal sebab sistem zonasi dan kuota harian kunjungan memang lumrah diterapkan di pengelolaan cagar budaya. Namun, yang lantas menuai kritik dan polemik adalah besaran nominal tarif yang ditetapkan untuk mengakses zona 1 Borobudur alias badan candi.
Upaya Konservasi: Dulu dan Sekarang
Sebelum isu pembatasan pengunjung merebak, upaya konservasi Borobudur sudah diinisiasi bahkan sejak bangunan suci ini masih bercokol dengan komunitas pendukungnya. Penutupan rangkaian relief Karmawibhangga di bagian dasar candi disinyalir sebagai inisiasi awal untuk membuat badan candi tetap seimbang. Meski begitu, ada pula hipotesis lain yang menganggap penutupan tersebut dipicu karena adanya kekeliruan ataupun perubahan mandala (semacam cetak biru sakral bangunan suci) Borobudur.
Dewasa ini, konservasi terus berlanjut dengan agensi yang beragam. Namun, utamanya yang ikut campur adalah pemerintah, badan usaha dan ahli-ahli terkait. Kerja konservasi mewujud mulai dari pemusnahan jamur dan lumut yang menggerogoti batu, penghijauan di area sekitar, penutupan stupa ketika ada aktivitas vulkanik dari Gunung Merapi, upaya menyusun zonasi serta rencana pengelolaan, dan yang terbaru adalah wacana pemberlakuan kebijakan pembedaan tarif kunjungan.

Sumber: krjogja.com
Sebelum akhirnya menjadi ramai, wacana pemberlakuan tarif yang berbeda sudah kerap dibahas oleh para stakeholder. Pada 2020 misalnya, dalam dokumen Rencana Pengelolaan Pengunjung Borobudur (RPPB) yang dirilis oleh Tim Integrated Tourism Master Plan Borobudur-Yogyakarta-Prambanan (ITMP BYP) bersama tim UNESCO dan stakeholder pemerintah, telah disarankan adanya kenaikan tarif untuk wisatawan domestik dan penggolongan tarif masuk sesuai zonasi Borobudur. Di halaman 219, tercantum rekomendasi tiga jenis tarif. Akses ke badan candi (zona 1) akan dikenakan biaya Rp100.000,00, masuk ke halaman utama hingga teras candi(zona 1) sebesar Rp60.000,00 dan jika hanya di pekarangan candi (zona 2) sebesar Rp30.000,00. Kesemuanya berlaku untuk wisatawan domestik dewasa dan pemegang Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS). Diskon juga disarankan tetap ada, tetapi tidak dengan jor-joran, sebab tujuan utamanya tetap untuk mengurangi dampak kerusakan pada candi melalui pembatasan pengunjung.

Sumber: ITMP BYP diolah delineasi peta UNESCO
Pembedaan tarif tersebut tentu bukan tanpa alasan. Didasari oleh hasil riset Balai Konservasi Borobudur (BKB) tahun 2009 tentang daya dukung candi terhadap jumlah wisatawan, maka didapat sederet angka kuota harian yang memadai untuk tiap zona. Misalnya, untuk zona 1 bagian badan candi akan ideal menampung 128 orang, sementara zona 1 bagian halaman utama candi ideal untuk 523 orang. Zona 2 yang lebih luas dan cukup jauh dari monumen utama bisa menampung sekitar 10.308 orang. Angka-angka itu berlaku per kunjungan dengan asumsi sekali kunjungan berdurasi 1-2 jam. Dengan perbedaan akses dan nilai per zonanya, maka tarif harus disesuaikan. Tarif yang direkomendasikan pada 2020 itu terkesan sangat terjangkau. Bandingan dengan tarif terkini tiket untuk dewasa sebesar Rp50.000,00, sementara pelajar bervariasi dengan kisaran Rp25.000,00 hingga Rp20.000,00. Kenaikan 2x lipat hanya terjadi untuk akses badan candi, sementara dua tarif lainnya masih setara dengan sekali makan di warung nasi padang bergengsi atau ngopi-ngopi cantik di kafe.

Sumber: RPPB hlm. 2
Masalah yang sebenarnya kronis dari gonjang-ganjing kemarin, menurut Prof. Sri Margana, Guru Besar Departeman Sejarah UGM, ialah perilaku ugal-ugalan pemerintah dalam menetapkan harga tiket, yang menunjukkan orientasi pemangku kebijakan terhadap profit ekonomi, bukan pada pelestarian, ataupun kenyamanan pengunjung. Lebih ngawurnya lagi, profit ekonomi tersebut disinyalir hanya akan menguntungkan pemerintah via pengelolanya, yakni PT. Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko (selanjutnya disebut PT. TWC) dan bukan pada ekonomi komunitas lokal. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) no.1 tahun 1992 tentang Pengelolaan Taman Wisata Candi Borobudur dan Taman Wisata Candi Prambanan serta Pengendalian Lingkungan Kawasannya, bahwa PT. TWC sebagai institusi di bawah Kementerian BUMN tidak harus melaporkan laporan keuangannya ke Kemendikbud (kini Kemendikbud-ristek), sehingga tak ada transparansi perolehan laba. Padahal, Keppres yang sama tidak mengatur persentase keuntungan yang harus dibagi untuk kepentingan konservasi maupun daerah, sehingga wajar bila masih banyak ketimpangan di sana-sini.3
Sebagaimana yang disebutkan Prof. Margana dalam cuitan pribadinya di Twitter, pembatasan pengunjung dengan sistem kuota yang mapan akan lebih masuk akal. Pengunjung yang ingin menaiki candi perlu mendaftar terlebih dahulu, maksimal hari sebelumnya, sampai kuota 1200 orang terpenuhi. Kelestarian candi terjaga dan pengunjung tak perlu repot-repot menabung ⅓ UMR Yogyakarta untuk melihat tinggalan budaya yang harusnya bisa diakses masyarakat dari semua kelas. Pemerintah ketika mengumumkan wacana awal kebijakan, dengan kasual hanya mengatakan akan diberlakukan sistem kuota kunjungan dan tarif baru yang nominalnya gila-gilaan, alih-alih menjelaskan sistem kuota tersebut dan pertimbangan rasional akan ketetapan tarif. Memang, katanya akan ada slot harga Rp5.000,00 untuk pelajar, tapi itu sebesar 20% dari keseluruhan kuota harian. Lagi, tetap tidak menjawab asal muasal hitungan Rp750.000,00 dan pengabaian terhadap ulasan komprehensif RPPB.
Ke Mana Arah Pelestarian dan Pengelolaan Pariwisata Cagar Budaya Selanjutnya?
Pasca gonjang-ganjing, pada Selasa (14/06), Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono, dikutip dari BBC Indonesia, mengungkapkan bahwa pemerintah batal memberlakukan harga tiket sebesar Rp750.000 bagi wisatawan domestik untuk naik ke badan Candi Borobudur. Tarif masuk akan tetap Rp50.000 untuk dewasa dan Rp25.000,00 untuk pelajar dan anak-anak.
Pemerintah beralih kepada opsi yang disetujui banyak ahli, yaitu memberlakukan kuota maksimal 1200 pengunjung per hari tanpa menaikkan tarif. Pengunjung perlu mendaftar terlebih dahulu secara daring, menggunakan alas kaki khusus, dan didampingi pemandu wisata yang terdaftar.
Masalah satu mungkin selesai, tetapi wacana awal tentang kenaikan harga tiket masuk Borobudur secara tiba-tiba tanpa mempertimbangkan baut-baut roda pariwisata Borobudur: mamang-mamang penjaja cenderamata di halaman candi, ibu-ibu pengrajin kriya, atau keluarga yang menggantungkan ekonominya dengan berjualan makanan dan menyediakan tempat tinggal bagi pengunjung, mengindikasikan bahwa orientasi pemerintah sebetulnya berpusat pada profit si kapital, bukan pelestarian apalagi kepedulian pada ekonomi mikro-menengah komunitas sekitar! Padahal, salah satu tujuan dari pariwisata di situs budaya seperti ini adalah sebagai bentuk alternatif memerangi mass tourism yang punya tendensi kapitalisme berlebih.4
Bila coba merunut ke belakang, sejak PT. TWC dibentuk pada 15 Juli 1980, maka itu menjadi titimangsa perubahan paradigma pengelolaan Candi Borobudur sesuai yang dirumuskan oleh UNESCO.5 Paradigma lama pengelolaan berkutat pada perlakuan monumen sebagai sesuatu yang sakral atau politis, hanya berupa komponen fisik yang mati, tidak terhubung dengan sekitarnya, pengaturan seluruhnya oleh pusat, dan penggunaan objek sebagai tempat rekreasi. Sementara paradigma baru menekankan pada perlakuan terhadap cagar budaya sebagai tempat dan ruang manusia biasa, praktik tradisi dan nilai-nilai intangible mulai diperhatikan, dan pengelolaannya yang menekankan pada pengembangan kapasitas masyarakat lokal.6

Sumber: Soeroso, 2007.
Pada beberapa bagian, terutama penekanan pada pembangunan pariwisata yang kini berbasis masyarakat, adalah langkah yang tepat, meski belum sepenuhnya optimal. Terlebih dengan adanya tumpang tindih agensi pengelola cagar budaya seperti kasus di Borobudur. Memang, tidak semua cagar budaya dimaksudkan untuk jadi atraksi wisata yang komersial dan masif seperti laiknya Borobudur, Prambanan maupun Ratu Boko yang sampai harus dikelola oleh satu manajemen PT. TWC. Namun, hal itu pun tak secara otomatis membuat cagar budaya lain seakan bisa mangkir dari pertanyaan eksistensialis tentang cara menyeimbangkan pelestarian dan pariwisata. Dalam beberapa paragraf di bawah, akan diulas sedikit mengenai bagaimana baiknya kedua hal itu berjalan dan apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah.
Visi pemerintah dalam pengelolaan Candi Borobudur adalah dengan menjadikan Borobudur sebagai The Capital of Buddhist Heritage in the World.7 Untuk mencapai visi tersebut, komersialisasi besar-besaran pun dilakukan. Tidak hanya melalui TWC, investor-investor asing turut diajak untuk menanamkan modal mereka dalam bentuk penginapan atau restoran mewah di sekitar candi.
Sayangnya, keuntungan dari sebaran modal asing dan pengelolaan TWC hanya terpusat di agen-agen teratas saja. Kesenjangan pendapatan antar kelompok masyarakat ikut memburuk dan masyarakat lokal tidak mendapat sebaran peningkatan ekonomi yang merata.8 Penelitian Mardiyaningsih pada 2003 menemukan dampak sosial ekonomi dari kehadiran pariwisata Candi Borobudur terbatas pada desa yang letaknya paling dekat dengan situs, yakni Desa Borobudur. Sementara Desa Candirejo, yang letaknya sekitar 7 km dari candi, mendapatkan keuntungan yang minimum dari pariwisata.9
Pada 2016-2017, diprakarsailah pembentukan Balai Ekonomi Desa (Balkondes) di 20 desa di Kecamatan Borobudur atas inisiatif Kementerian BUMN dan PT. TWC dengan para perusahaan-perusahaan mitra yang menggelontorkan dana Corporate Social Responsibility (CSR). Upaya ini dilakukan untuk meluaskan kemungkinan keuntungan yang seharusnya didapat warga desa sekitar. Balkondes dirancang sebagai titik lokasi untuk mewadahi kepentingan sosialisasi dengan dibangunnya kafe, pendopo-pendopo, aula multifungsi dan juga beberapa kamar homestay. Selain itu, disiapkan juga berbagai atraksi kesenian maupun aktivitas seni di tiap titik. Besar harapan agar wisatawan dapat memperlama masa wisata mereka dengan menghabiskan waktu di Balkondes.
Namun, keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) dan keterampilan yang dibutuhkan untuk mengelola Balkondes jadi masalah tersendiri, sehingga masih bergantung dengan pendampingan yang diinisiasi baik dari agensi PT. TWC, mitra BUMN terkait maupun dari pemerintah. Keuntungan yang diharap bisa segera terserap, pada kenyataannya masih harus menunggu beberapa tahun lagi. Meski begitu, model bisnis ini dinilai sudah cukup mumpuni untuk mengakomodasi pemerataan ekonomi dan cukup menunjukkan arah pariwisata berkelanjutan.
Dengan majunya model pariwisata seperti ini yang mampu memecah gelombang konsentrasi pada bangunan utama candi, diharap potensi degradasi monumen juga dapat dikurangi. Kunci untuk pengelolaan cagar budaya sebagai situs warisan dunia sekaligus atraksi pariwisata yang menjadi tumpuan ekonomi adalah mempertemukan kesemuanya di battleground yang sama. Terlihat bahwa itikad baik untuk mengembangkan ekonomi lokal makin nyata. PR selanjutnya adalah menyeimbangkan antara pengelolaan formal sekaligus pelestariannya.
Sudah disinggung di atas bahwa salah satu masalah kronisnya adalah tumpang tindih agensi pengelola di tiap zona Candi Borobudur.10 Zona 1 dan 2 Borobudur dikelola oleh 2 instansi dengan dua kutub ideologi berbeda. Zona 1 yang melingkupi halaman candi dan bangunan utama dikelola oleh BKB, sementara zona 2 ada di bawah manajemen PT. TWC. Harapannya, zona 1 dapat dikelola secara profesional di bawah tangan-tangan konservator handal, sementara zona 2 yang menampung banyak titik atraksi wisata seperti toko suvenir, museum, restoran, penyewaan jasa sepeda dan lain sebagainya dikelola secara profesional oleh perusahaan perpanjangan tangan BUMN (PT. TWC). Namun, secara de jure dan de facto, PT. TWC juga bisa mengelola pemanfaatan, ketertiban dan kebersihan zona 1 sebagai atraksi wisata. Ditambah lagi, sesuai pasal 9 Keppres no. 1 tahun 1992, PT. TWC memiliki kewenangan penuh untuk menyelenggarakan kepariwisataan, mengoperasikan segala fasilitas dalam rangka menunjang kegiatan usaha dan melakukan pungutan segala usaha komersial termasuk biaya masuk serta pungutan lain atas pemanfaatan. Hal ini yang kemudian turut menyumbang ontran-ontran kemarin. Sebab rupanya meski pengelolaan dibagi per zona, PT. TWC toh pada akhirnya tetap bisa menggunakan apa yang disebut sebagai fasilitas wisata di zona 1 sebagai upaya untuk campur tangan.

Sumber: RPPB hlm. 72
Sehubungan dengan hal itu, maka memang terus harus dilakukan sinergi dan komunikasi yang bernas. Apalagi dengan fakta bahwa kedua instansi itu dinaungi lagi oleh dua kementerian yang berbeda. Outstanding Universal Value (OUV) Borobudur yang mengantarkannya jadi situs warisan dunia dan dikenal masyarakat luas haruslah menjadi arah utama di mana kompas pengelolaan terarah. Penyelenggaraan pariwisata mau tak mau diadakan dalam semangat menjaga OUV agar tetap langgeng. Hindari pola pikir komersialisasi berlebih, fokus pada interpretasi nilai cagar budaya dan memperkaya pengalaman berwisata pengunjung.
Saran dan rekomendasi telah diungkapkan melalui riset, kertas-kertas kerja hasil pertemuan serta turun ke lapangan. Beberapa pernyataan pemerintah juga terkesan sudah menyinggung ke arah sana, katanya guna mengarahkan pengelolaan pariwisata yang seimbang dan berkelanjutan di lanskap cagar budaya. Sekarang rasanya tinggal melihat apakah kesemuanya akan disentuh atau justru dibiarkan jadi gimmick semata.
Catatan Kaki:
1 Djulianto Susantio, 1985. Pengunjung dan Masalah Konservasi Candi Borobudur. Artikel diakses melalui hurahura.wordpress.com
2 Fortunatus Devino Perdana. 2018. Candi Borobudur sebagai Destinasi Unggulan di Magelang. Sekolah Tinggi Pariwisata Ambarrukmo Yogyakarta (makalah).
3 Saran untuk merevisi Keppres ini sudah disarankan oleh Soeroso (2007) dan dalam RPPB (2020).
4 Ardika, I W. 2015. Warisan budaya perspektif masa kini. Udayana University Press. Denpasar.
5 Mulanya PT. TWC hanya menaungi Borobudur dan Prambanan saja, seperti tertuang dalam Akta Notaris Soeleman Ardjasasmita, S.H. Nomor: 19 Tanggal 15 Juli 1980. Di kemudian hari, kompleks Ratu Boko pun dimasukkan ke dalam manajemen PT. TWC sesuai Akta Notaris Soekemi, S.H. Nomor: 25 Tanggal 3 Agustus 1994.
6 Baiquni, M. 2009. “Belajar dari Pasang Surut Peradaban Borobudur dan Konsep Pengembangan Pariwisata Borobudur”. Forum Geografi 23 (1): 27.
7 Aulia, S. S. 2018. “Pariwisata Indonesia di Masa New Imperialism atau Imperialisme Modern: Sebuah Kritik dan Refleksi terhadap Pengembangan Pariwisata di Borobudur dan Mandalika”. Jurnal Wilayah dan Kota 5 (1): 39.
8 Aulia, S.S. 2018. “Pariwisata Indonesia di Masa New Imperialism atau Imperialisme Modern: Sebuah Kritik dan Refleksi terhadap Pengembangan Pariwisata di Borobudur dan Mandalika”. Jurnal Wilayah dan Kota 5 (1): 40.
9 Mardiyaningsih, D. I. 2003. Industri Pariwisata dan Dampaknya terhadap Kehidupan Sosial-Ekonomi Masyarakat Lokal (Kasus Dua Desa di Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
10 Zonasi ini didasarkan pada rancang induk yang dibuat oleh JICA (Japan International Cooperation Agency) 1979 berdasar permintaan dari Pemerintah RI. Borobudur dibagi menjadi lima zona sebagai berikut: Zona 1 untuk pelestarian lingkungan arkeologi (Archaeological Environment Preservation), zona 2 untuk taman arkeologi (Archaeological Park Zone) sekaligus area layanan dan fasilitas untuk pengunjung, zona 3 adalah zona regulasi penggunaan lahan (Land Use Regulation Zone) yang mencakup 3 desa di sekitar Borobudur, zona 4 sebagai zona pelestarian pemandangan sejarah (Historical Scenery Preservation) dan terakhir, zona 5 untuk taman arkeologi nasional (National Archaelogical Park Zone).

Perwira Utama
I have a specific interest in art, heritage, and literature, I’m looking forward for a discussion regarding the topics

Tyassanti Kusumo
Bercita-cita mendirikan klub memasak remahan sayur dalam kulkas. Bisa diajak korespondensi melalui alamat surel tyassantikd@gmail.com

Sandy Maulana
Penulis dan penyunting lepas. Kerap menganggap le meilleur des mondes possibles adalah dunia di mana semua orang senang orek tempe. Bisa disapa atau ditawari proyek (hehe, namanya juga usaha) melalui sandymaulanay@gmail.com