Geliat Romantika dalam Kunjungan Museum

Secara kasat mata, tagar #MuseumDate yang bertebaran di aneka ragam sosial media rasanya cukup mumpuni untuk membuktikan museum telah terintegrasi dengan baik dalam kehidupan personal warga.

Penulis: Tyassanti Kusumo | Editor: Lampau.in

Muda-mudi bergerak dinamis di kehidupan urban. Bagi sebagian kelompok, arus migrasi lokal untuk kerja dan melanjutkan pendidikan tinggi membuat mereka pada akhirnya bercokol dengan kota dan segenap hal yang ditawarkan olehnya. Banyak yang menemukan cinta, persahabatan, maupun jaringan sosial lain dalam laju aktivitas urban. Namun, tak kalah banyak juga yang menepi merawat diri.

Pada tiap relasi yang dijalin dan diupayakan, berbagai kemungkinan muncul. Kemungkinan tersebut dibangun dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan secara bertahap antara satu individu dengan lainnya. Jalan-jalan ke pusat perbelanjaan, kulineran, datang ke konser musik, menonton film, ikut lokakarya, cafe-hopping, blusukan ke pasar, “kota-kota” alias berkeliling kota, bengong di area terbuka hijau atau alam terbuka dan banyak lagi. Berkunjung ke museum pun jadi salah satu alternatif di antaranya. 

Secara kasat mata, tagar #MuseumDate yang bertebaran di aneka ragam sosial media rasanya cukup mumpuni untuk membuktikan museum telah terintegrasi dengan baik dalam kehidupan personal warga. Hal ini senada dengan visi Museum yang dibayangkan ICOM (The International Council of Museums), agar ia menjadi sarana rekreatif yang menimbulkan perasaan senang atau bahagia. Namun, apa iya cuma itu aja?

Untuk mengetahui seluk beluk kencan di museum atau museum date di Indonesia, Awak Lampau beberapa saat lalu sempat membuat survei kecil-kecilan via angket daring. Survei ini sebetulnya nggak ditujukan secara khusus untuk mereka-mereka yang punya pasangan, sih. Kencan sendiri toh bisa diartikan janji temu pada waktu yang telah disepakati dengan suatu pihak tertentu, dan tidak melulu mengenai relasi romantik. Kendati demikian, para responden yang tersebar di domisili Jabodetabek, Malang, Solo dan Yogya dengan rentang usia di bawah 25 tahun hingga di atas 40 tahun kebanyakan mengisi berdasar pengalaman mereka berkunjung ke museum dengan partner romantik.

Angket ini menangkap beberapa poin seputar alasan kunjungan ke museum, jenis museum yang dituju, pengaruh dari kunjungan ke museum dan saran supaya museum makin jadi tempat yang asyik dan nyaman, terutama dari mereka yang sedang mencoba peruntungan dengan kehidupan asmara.

Dinamis, Anti Mati Kutu dan Anti Dompet Tipis

Secara spesifik, rupanya datang ke museum adalah salah satu kegiatan yang nggak ribet dan memberi efek cukup mantap bagi pengunjung. Kita coba bedah satu-satu, ya!

Gambar 1: Museum Nasional Indonesia
Sumber: kemdikbud.go.id

Pertama, mahar yang harus dibayar untuk masuk dan melihat-lihat koleksi sangat terjangkau. Sebagai contoh, datang ke Museum Nasional Indonesia di Jakarta saja kita hanya diharuskan membayar lima ribu rupiah sebagai wisatawan domestik. Bila partner kita adalah Warga Negara Asing (WNA), harganya pun nggak beda jauh, sepuluh ribu rupiah. Masih mahal jajan ayam geprek euy. Harga tiket masuk museum lain di kota-kota besar di Indonesia juga berada dalam kisaran itu. Kecuali bila sedang ada pameran temporer atau program kolaborasi dengan lembaga lain, tiket barangkali akan naik kelas sedikit. Namun itu pun juga masih terhitung sangat terjangkau jika disandingkan dengan pengalaman yang didapat. Cocok lah ya dengan peribahasa “ada rupa ada harga”.

Kedua, lokasi yang strategis dan mudah diakses. Beberapa museum telah menjadi landmark suatu kota atau kabupaten, sehingga rute moda transportasi umum dipastikan melewati jalanan di sekitarnya. Dompet pun (lagi-lagi) jadi salah satu pihak yang ikut diuntungkan. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa banyak juga museum dengan tempat sedikit pucuk nggunung alias jauh dari jangkauan transportasi umum dan bukan di pusat kota atau kabupaten. Fakta itu rupanya nggak membuat para pengunjung urung datang. Perjalanan jauh justru menambah kesan dan pengalaman, apalagi ditambah bonus kunjungan ke tempat lain yang masih berada dalam kawasan tersebut. Kali ini urusan kocek memang dinomorduakan, tetapi toh apa salahnya bila memang sedari awal sudah jadi kesepakatan bersama.

Museum Ullen Sentalu di Kaliurang, DIY contohnya. Terletak sekitar dua puluh lima sampai tiga puluh kilo dari pusat kota Yogyakarta, sebetulnya ada beberapa pilihan moda transportasi umum yang bisa dipakai. Ada bus Transjogja dan angkutan kota lokal yang siap mengantar pengunjung sampai setidaknya jarak 300 meter dari museum. Meski begitu, waktu tempuhnya menjadi dua kali lipat lebih lama. Bila naik kendaraan pribadi, 30 sampai 45 menit saja di jalan. Sementara, moda transportasi umum yang harus berganti dua sampai tiga kali membuat waktu tempuh menjadi 60 sampai 90 menit. Itu pun belum menghitung faktor lain seperti waktu tunggu yang tidak bisa diprediksi dan keterbatasan jam operasional angkot. Mau tidak mau, demi efektivitas dan kenyamanan yang memadai, b̶a̶i̶k̶n̶y̶a̶ a̶d̶a̶ p̶e̶r̶b̶a̶i̶k̶a̶n̶ s̶i̶s̶t̶e̶m̶ t̶r̶a̶n̶s̶p̶o̶r̶t̶a̶s̶i̶ u̶m̶u̶m̶  kendaraan pribadi cenderung lebih diandalkan untuk menjangkau Ullen Sentalu. Menyusuri jalanan Kaliurang yang dipenuhi dengan area hijau dan villa-villa berarsitektur Jengki menjadikan kunjungan ke museum bagaikan ziarah sarat kesyahduan. Sepanjang perjalanan bisa fafifu wasweswos bahas kira-kira koleksi seperti apa yang akan dilihat nanti.

Gambar 2: Rute dan waktu tempuh dari Titik Nol menuju Museum Ullen Sentalu.
Peta: Tangkapan layar Google Maps

Poin nomor tiga, dinamis dan memberi warna baru dalam relasi. Secara natural, ketika bermuseum ria, pengunjung akan berjalan mengikuti arah pameran sembari mengamati koleksi yang dipamerkan. Bila tidak terburu, barangkali akan didului dengan berdiam sebentar mempelajari denah museum dan tulisan pengantar pameran. Bagi pasangan newbie atau yang baru kenal lantas ingin menjajal kecocokan, hal itu bisa jadi satu poin plus. Kikuknya obrolan-obrolan awal dan gestur tubuh akan mudah tersamarkan karena terus bergerak dan disajikan koleksi yang berderet di depan mata. Kagok sedikit, bisa langsung melipir maju atau malah ngomentarin koleksi yang ada di depan mata. Selain itu, kencan di museum juga mewadahi kepentingan pasangan yang pengin gerak tapi di sisi lain nggak pengin o̶l̶a̶h̶r̶a̶g̶a̶  terlalu capek.

Gambar 3: Fafifu wasweswos bersama mba atau masnya
Sumber: traveloka.com

Setelah dihajar kerjaan dan tetek bengek lain termasuk kecemasan hidup, obrolan di museum, atau bahkan sekadar hadir di museum rasanya menjauhkan kita dari betapa biasanya hidup yang sedang dijalani. Koleksi unik yang datang dari masa lalu atau pun kontemporer tetapi dibungkus dengan narasi menarik membuat kencan jadi lebih berwarna. Walhasil, gelitik pikiran-pikiran baru dan imajinasi soal hal yang jarang dibicarakan atau nampak di rutinitas sehari-hari turut dibawa pulang jadi oleh-oleh manis yang meningkatkan kualitas hubungan pun kualitas komunikasi masing-masing individu. Memang hal ini nggak berlaku buat semua. Ada juga pasangan yang merasa bahwa kunjungan ke museum nggak memberi dampak radikal untuk kualitas hubungan, tapi mereka mengaku bahwa setidaknya koleksi dan cara bertutur dari narasi museum tetap memberi kebaruan, utamanya memenuhi kebutuhan intelektual. Sensasi celingak-celinguk bersama dan bertukar pikiran kala mencoba memahami koleksi jadi sesi romantis tersendiri.

Daripada sekadar tiga poin di atas, alasan yang dimunculkan di angket masih banyak variasinya. Beberapa pasangan memutuskan datang ke museum untuk menghindari panasnya aspal jalanan dan suhu yang ngawur akibat polusi tak terkendali. Meski nggak semua museum memasang pendingin ruangan, terkadang mereka punya halaman rindang yang bisa dipakai untuk ngaso duduk-duduk sambil bengong dan d̶e̶e̶p̶ t̶a̶l̶k̶  piknik kecil-kecilan. Aksi ini seakan jadi protes halus tentang terbatasnya ruang terbuka hijau dan ketidakhadiran negara dalam mengontrol kegiatan bertransportasi, baik itu mengatur ambang emisi kendaraan maupun perbaikan pada sistem transportasi umum.

Saran dan masukan

Demi mewujudkan kunjungan yang ciamik paripurna dan memuaskan, ada baiknya museum dilengkapi dengan kafetaria atau toko suvenir. Kafetaria dituju agar tetap bisa lanjut ngobrol tanpa keluar museum, sembari menikmati kopi dan aneka kudapan.  Terkadang dibutuhkan juga waktu barang tiga puluh menit sampai satu jam untuk mengendapkan apa yang baru saja dilihat dan mengamati arsitektural museum misalnya.

Di samping memfasilitasi pengunjung, upaya membuka kafetaria yang berciri dan otentik juga dapat digunakan pihak museum sebagai sarana promosi dan kolaborasi. Melalui sajian atau interior, semua mungkin dilakukan. Warga sekitar yang jago memasak atau meracik minuman diajak mengangkat kuliner setempat. Bisa juga dibuat menu-menu temporer yang merupakan perpanjangan dari konsep museum. Bila konsisten dilakukan dan kualitas terjaga, secara tidak langsung akan jadi identitas dan daya tarik tersendiri bagi museum. Sarana promosi halus nan jitu.

Gambar 4: Cafe di Red Star Line Museum
Sumber: wikimedia.org

Toko suvenir juga jangan sampai lolos! Pengunjung suka kepengin punya kenang-kenangan sekaligus merchandise yang khusus diperjualbelikan di museum tersebut. Misalnya tas tote dengan ilustrasi salah satu koleksi museum atau sabun yang baunya terinspirasi dari vegetasi sekitar. Pengalaman berbelanja dengan barang unik nan otentik yang stoknya senantiasa diperbarui tiap berapa waktu tertentu menjadi faktor penarik agar pengunjung datang secara reguler.

Keberadaan toilet bersih dan tempat sampah yang cukup turut jadi saran yang disebut. Wajar sih. Siapa emang yang nggak pengin buang hajat di tempat yang super bersih, nyaman dan wangi???

Selain fasilitas-fasilitas yang sudah disebut, responden juga menyoroti pameran dan tata interior museum. Penyajian koleksi ada baiknya dilengkapi dengan keterangan memadai. Jangan hanya singkat, sepatah dua patah kata yang tidak menggambarkan secara detail benda yang ditampilkan. Keterangan yang lengkap, ringkas dan disampaikan dengan bahasa lugas akan memudahkan pengunjung untuk memahami koleksi, terutama bila nggak menggunakan jasa pemandu museum. Pun ternyata ketiadaan keterangan disebabkan karena alasan estetik, alias supaya nggak terlalu banyak teks, penggunaan QR code atau barcode bisa jadi salah satu alternatif.

Penanda arah pameran juga baiknya disediakan, entah di lantai atau di tembok. Nggak lucu banget kalau tiba-tiba salah arah atau justru kebingungan harus milih jalan yang mana hiks. Meski pasti ya tinggal diketawain aja, tapi kadang kalau salah belok dan jadi nggak dapat esensi urutan cerita pameran, rasanya kan greget nyesek gitu.

Pencahayaan dalam gedung juga nggak bisa disepelekan. Kalau misal nggak sesuai dengan tema ruangan atau nggak diatur sedemikian rupa, bukan cuma orang yang kencan aja yang bakal bete dan kapok ke museum lagi karena off banget interiornya, tapi ya semua pengunjung pasti akan dapat kesan yang sama. Faktanya, pencahayaan adalah faktor yang krusial untuk mengatur mood. Sehingga rada berabe dan fatal bila ia diabaikan atau dikerjakan dengan kurang serius. Begitu pula cara menyajikan koleksi, sih. Semakin interaktif dan bervariasi, alih-alih hanya dalam vitrin saja atau berbasis visual, pengunjung makin suka dan terkesan rupanya. Hal itu juga berkaitan dengan bagaimana mengakomodasi teman-teman difabel untuk tetap dapat menikmati sajian museum.

Gambar 5: Macam macam tata pencahayaan di museum
Sumber: Wang, et. al. 2020

Jangan lupa, temperatur juga harus diatur baik-baik. Betul, nggak semua museum punya langit-langit tinggi dan jendela besar untuk mensirkulasi udara. Kalau begitu, ketika memasang pendingin ruangan, baiknya disetel di suhu yang nyaman juga supaya nggak bikin gerah keringetan dan lemes. Namun, jangan sampai terlalu berbeda dari suhu di luar dan membuat badan cepet meriang.

Agak di luar pembahasan fisik, tapi satu hal lain yang didambakan pengunjung adalah adanya program-program inovatif yang digelar berkala di museum. Jadi kalau main-main ke museum, selain menikmati pameran tetap dan temporer, ada juga lokakarya atau program lain yang bisa diikuti. Kan kencannya jadi makin berkualitas!

Kencan di museum, apakah disarankan?

Menurut pengakuan para responden angket sih jelas YES. Bukan hanya enjoyment saja yang didapat, rupanya wawasan dan pandangan baru juga jadi satu hal yang diincar ketika memutuskan museum sebagai destinasi kencan. Jadi, kapan nih #MuseumDate lagi?

Tyassanti Kusumo

Bercita-cita mendirikan klub memasak remahan sayur dalam kulkas. Bisa diajak korespondensi melalui alamat surel tyassantikd@gmail.com 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: