Kriya Logam Kotagede, Kearifan Lokal, dan Waktu yang Terus Bergerak

Apa yang terlihat dari Kotagede bersama kriya logamnya adalah bentuk nyata bagaimana kearifan lokal bisa menjadi identitas yang khas bagi daerah.

Penulis: Luki Antoro | Penyunting: Sandy Maulana

Menulis soal perkembangan kerajinan logam di Kotagede Yogyakarta ternyata menarik sekali bagi saya. Bagaimana mungkin, kawasan Kotagede yang tampak kecil, akan tetapi berabad-abad lalu merupakan salah satu pusat peradaban di tanah Jawa. Di abad ke-16, Kotagede pernah menjadi ibukota Kerajaan Mataram Islam. 

Sulit membayangkan secara utuh Kotagede di masa lalu namun melihat tinggalan bangunan dan tradisi yang tersisa, pembangunannya nyata terencana sekali. Mulai dari pusat kerajaan (Masjid Gedhe Mataram Kotagede dan Makam Raja), pusat ekonomi (Pasar Kotagede), dan toponim kampung yang masih mengandung cerita kuat tentang masa lalu.

Bila dirunut ke belakang, ekonomi kreatif di Kotagede memang berakar pada sejarah lokal yang sudah terbentuk sejak abad-16. Hanya saja istilah ekonomi kreatif belum se-booming sekarang. Misalnya untuk kerajinan logam, dahulu produk kerajinan logam merupakan komoditas yang ekslusif. 

Kerajinan itu dibuat oleh para abdi dalem kriya milik kerajaan, dan hasil kerajinan-kerajinan pun hanya untuk memenuhi kebutuhan kerajaan. Produknya bermacam-macam: jika bahan mentah yang tersedia adalah perak maka akan ditempa menjadi perlengkapan rumah tangga sementara emas untuk perhiasan. 

Para abdi dalem kriya kerajaan tinggal mengelompok di sekitar Kotagede. Hal tersebut tampak dari toponim beberapa kampung di Kotagede yang dinamai berdasarkan keahlian penduduknya. 

Contohnya Kampung Mranggen yang berasal dari kata mranggi yang berarti orang yang pekerjaannya membuat sarung untuk keris. Sebagian besar penduduk di kampung ini dahulunya adalah abdi dalem mranggi. Contoh lain, Kampung Sayangan berasal dari kata sayang yang bermakna orang-orang yang membuat barang dari tembaga. Seperti halnya Kampung Mranggen, Kampung Sayangan juga dihuni abdi dalem sayang (Istiana, 2012: 51-52). 

Apa yang terlihat dari Kotagede bersama kriya logamnya adalah bentuk nyata bagaimana kearifan lokal bisa menjadi identitas yang khas bagi daerah. Sedyawati (2006: 183) menjelaskan tentang nilai kearifan lokal adalah ekspresi kepribadian, identitas, pandangan dan sistem hidup masyarakat tertentu yang terkandung dalam kekayaan budaya lokal, baik yang berbentuk tangible maupun intangible.

Contoh corak hias pada kriya logam Kotagede
Sumber: Luki Antoro (dokumentasi pribadi)

Pada konteks kawasan Kotagede, sedikitnya terdapat tiga kelompok kearifan lokal yaitu aspek seni kriya yang terlihat dari motif klasik ukiran khas Kotagede, aspek teknik pembuatan kerajinan logam yang mengandalkan keterampilan tangan, serta aspek fungsi dan pengembangannya. 

Laku pelestarian kerajinan ukir tembaga dan kuningan hari-hari ini, meski terbatas, masih dapat kita saksikan, salah satunya di Nursih Basuki Art Studio (NBAS) Kotagede. Studio ini memiliki sanggar seni bagi pengrajin dan penempa tembaga dan kuningan. Rata-rata pengrajin telah mendedikasi puluhan tahun hidupnya menekuni kriya logam. 

Sementara pelestarian dan pengembangan kriya logam Kotagede, bila mau dirunut ke belakang, mulai intensif sejak tahun 1933. Atas inisiatif Gubernur Verohuur di Yogyakarta didirikan Yayasan Stichting Bevordering van Het Jogjakarta Kunst Ambacht—dikenal pula sebagai Pakaryan Ngayogyakarta (Daliman, 2000: 172). 

Yayasan tersebut berfungsi memberikan pembinaan terkait teknik pengerjaan kriya logam, meningkatkan kualitas kerajinan perak di Kotagede secara menyeluruh, dan bahkan turut andil dalam usaha pemasaran produk. Hasil dari keseriusan tersebut melahirkan iklim perdagangan yang pesat di sektor kerajinan perak Kotagede, hingga membuat Kotagede dijuluki sebagai ‘Kota Perak’-nya Indonesia.

Saya sih percaya, jika pada masa sebelumnya kriya logam Kotagede mampu mencapai titik puncak—dengan label industri perak paling mengesankan se-Indonesia—, maka di zaman yang lebih modern, semestinya, keberhasilan itu dapat kembali direproduksi atau bahkan ditingkatkan tanpa mengabaikan realitas dinamika ekonomi dan sosial yang majemuk. 

Namun menurut saya, ada beberapa indikasi buruk yang mengkhawatirkan. Pertama, pasar kriya logam yang dibiarkan terus lesu bakal menyebabkan minat anak muda bergerak di industri ini menurun. Kedua, ada bagian dari narasi signifikansi kriya logam bagi sejarah dan identitas Kotagede yang kian tak dikenali generasi muda wilayah ini. 

Apabila dua hal tersebut terus dibiarkan, boleh jadi di kemudian hari, kata ‘perak’ tak akan lagi diasosiasikan dengan Kotagede dan industri kriya logam yang sudah berusia ratusan tahun luruh disapu arus waktu yang terus bergerak.

Pengrajin kriya logam di NBAS Kotagede
Sumber: Luki Antoro (dokumentasi pribadi)

Referensi:
Daliman, A. (2000). Peranan Industri Seni Kerajinan Perak di Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Pendukung Pariwisata Budaya. Humaniora 12(2), 170–180. 

Istiana, I. (2012). “Bentuk dan Makna Nama-Nama Kampung di Kecamatan Kotagede”. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta. 

Sedyawati, E. (2006). Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta: Raja Grafindo.

Luki Antoro

Pemerhati dan pelaku ekonomi kreatif di Yogyakarta. Lahir pada 7 April 1996 di Bantul, Yogyakarta. Lulusan Prodi Manajemen, Fakultas Ekonomi Bisnis, UPN Veteran Yogyakarta.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: