Yang Tak Sepadan dari Kerja

Rupanya kehidupan pemburu-peramu tak sesengsara yang disangka semua orang.

Penulis: Sandy Maulana.

Semua yang hidup perlu bekerja—mencari dan menangkap energi agar bisa tumbuh, membiak, dan mengumpulkan lebih banyak lagi energi. Yang menjadi pertanyaan kemudian: jika semua organisme pada dasarnya serupa untuk urusan ini, apa yang membedakan manusia dengan, misalnya, berang-berang?

Ada dua hal yang membedakan kerja manusia daripada berang-berang, jelas James Suzman dalam bukunya Work: A Deep History, from the Stone Age to the Age of Robots. Pertama, manusia mampu memperoleh dan menguasai rangkaian keterampilan yang tampaknya tak terbatas, sementara spesies lain hanya cakap mengeksploitasi lingkungan tertentu dengan cara yang itu-itu saja. “Manusia adalah makhluk sangkil—jemari mereka piawai menciptakan alat sedangkan kepalanya pandai menyusun siasat untuk memenuhi kebutuhan,” tambahnya.

Alasan kedua, manusia punya tujuan dalam setiap jerih payahnya. Suzman memberi beberapa contoh untuk urusan itu, tapi mari mengambil patron yang lebih dekat. Pak Jumadi, petani kedelai dari Purwodadi, tidak menghantam dan menggemburkan dua hektar kebunnya setiap hari hanya karena ingin. Pak Jumadi punya anak yang sedang kuliah arsitektur di Universitas Diponegoro. Ia mau anaknya belajar dengan tenang tanpa perlu bekerja paruh waktu di warung cepat saji yang jauh, dan untuk itu, ia perlu merawat kebun kedelainya. Ratusan ribu motivasi lain, bersama milik Pak Jumadi, terpumpun dan semuanya terus mendorong manusia bekerja.

Gagasan bahwa kerja keras adalah kebajikan sementara sikap malas adalah keburukan, bersama dengan norma-norma lain yang membentuk sistem ekonomi modern, dapat ditelusuri hingga 10.000 tahun ke belakang, tepatnya ketika revolusi pertanian dimulai. Tuntutan mengandalkan tanah sebagai pangkal nafkah membongkar cara pandang manusia terhadap usaha dan hasil. Para pemburu-peramu terbiasa menikmati imbal langsung: menjangan yang baru saja mereka tombak, misalnya, bakal segera direbus dan disantap untuk hidangan makan malam. Petani, di lain sisi, mengembangkan delayed return economies. Mereka bercucur peluh memangkur tanah demi imbalan tak tampak, yaitu panen raya di masa depan. Prinsip itu, yang kemudian, menjadi dasar ekonomi kita hari-hari ini.

Satu abad yang lalu, ekonom John Keynes memprediksi di tahun 2030, manusia akan bekerja (hanya) 15 jam dalam sepekan. Tahun 2030 hanya berjarak 9 tahun dari sekarang, tetapi kita masih saja akrab dengan rutinitas 9 jam di kantor, ini belum menghitung waktu tempuh pulang-pergi berkendara, dan tentu, jangan lupakan lembur plus pekerjaan-pekerjaan sampingan (side-job) lainnya. Apa yang sebenarnya terjadi? Padahal kita telah melampaui seluruh teknologi yang mungkin tak pernah terbayang di benak Keynes, tetapi mengapa kita belum sampai juga ke jam kerja yang diproyeksikan?

Jika Keynes masih hidup hari ini, mungkin ia bakal menyalahkan insting manusia untuk bekerja. Ia percaya, manusia dikutuk mempunyai keinginan tak terhingga sementara tidak ada cukup sumber daya untuk memenuhinya. Alhasil, semuanya langka. Para ekonom menyebut fenomena ini sebagai akar permasalahan ekonomi yang paling mendasar, dan mereka menduga hal itu pula yang menjelaskan hasrat terus-menerus kita untuk bekerja. Kita menjadikan bekerja dan uang sebagai penghubung antara keinginan kita yang sebelanga dan sumber daya yang sejumput.

Terdengar masuk akal, bukan? Akan tetapi, muncul permasalahan baru karena teori tersebut bertentangan dengan pemahaman terbaru kita mengenai kehidupan leluhur pemburu-peramu. Hingga tahun 1960, antropolog berkeyakinan masyarakat pemburu-peramu menjalani hidup yang ringkas dan sengsara. Hanya dengan perkembangan teknologi serta pemikiran yang dinamis, itu pun terjadi bertahap, mereka hidup berkecukupan.

Ketika para antropolog mulai mempelajari masyarakat pemburu-peramu yang tersisa di dunia, mereka tiba pada kesimpulan mengejutkan: rupanya kehidupan pemburu-peramu tak sesengsara yang disangka semua orang. Seorang antropolog, tulis Suzman, menemukan suku yang hanya bekerja 30 jam seminggu untuk berburu dan urusan-urusan domestik yang lain. Selebihnya mereka bermusik, berbaur, bergunjing, dan menikmati hidup sebaik yang mereka mampu. Orang-orang itu tidak bekerja untuk mencukupi hasrat tak terhingga. Justru sebenarnya: keinginan mereka terbatas, dan dalam banyak hal, terasa sederhana. Temuan ini menunjukkan bahwa akar permasalahan ekonomi yang paling mendasar bukanlah, seperti yang diyakini Keynes, kemalangan abadi umat manusia. Ia hanya perkembangan buruk yang terjadi baru-baru saja akibat meluasnya spektrum kebutuhan manusia yang mulai menyentuh komoditas-komoditas sekunder dan tersier.

Selagi hidup dan bernapas, kita boleh menganggap diri sebagai spesies teradaptif se-Bumi yang berjalan dengan dua kaki tegak. Dengan catatan dan kesadaran penuh bahwa sebenarnya strata manusia untuk urusan ini masih di bawah banyak spesies lain, seperti kecoak—mereka berjalan memakai enam kaki—yang sudah eksis sejak 220 juta tahun lalu. Itulah mengapa penting bagi kita mengetahui bahwa selama 290 ribu tahun pertama dari 300 ribu historiografi manusia, kita tak bekerja sekeras yang kita lakukan hari ini. Mengakui hal tersebut jelas tidak langsung memberikan jawaban bagaimana cara meredefinisikan kerja dan sistem ekonomi di masa depan. Boleh jadi ini hanya langkah pertama dari ribuan jalan yang tersedia untuk memaknai ulang konsep ketenteraman.

Sandy Maulana

Penulis dan penyunting lepas. Kerap menganggap le meilleur des mondes possibles adalah dunia di mana semua orang senang orek tempe. Bisa disapa melalui sandymaulanay@gmail.com

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: