Kecenderungan wisatawan domestik yang kurang peduli dengan nilai kearifan lokal Kompleks Candi Prambanan menjadi masalah tersendiri yang harus diatasi.
Penulis: Sandy Maulana | Penyunting: Tyassanti Kusumo
Sebelum pandemi merebak dan membuat dunia jungkir balik dalam arti sebenarnya, Kompleks Candi Prambanan (Candi Prambanan, Candi Sewu, dan Candi Plaosan) merupakan salah satu kawasan yang paling banyak dikunjungi wisatawan dalam setahun.
Data yang dirilis Badan Pusat Statistik Kabupaten Sleman menyebut, selama tahun 2018, Candi Prambanan dikunjungi 1.998.437 wisatawan. Berdasarkan data yang dirilis BPS Kabupaten Klaten, selama tahun 2017, Candi Sewu dan Candi Plaosan dikunjungi 13.941 wisatawan. Jika angka-angka itu dijumlahkan secara kasar, maka total kunjungan ke Candi Prambanan, Candi Sewu, dan Candi Plaosan mencapai dua juta wisatawan per tahun.
Jumlah tersebut tergolong sangat banyak bagi ukuran destinasi pariwisata. Namun, kecenderungan wisatawan domestik yang kurang peduli dengan nilai kearifan lokal –nilai-nilai yang bersifat intrinsik dari– Kompleks Candi Prambanan, menjadi masalah tersendiri yang harus diatasi.
Sedyawati (2006: 183) menjelaskan nilai kearifan lokal adalah ekspresi kepribadian, identitas, pandangan, dan sistem hidup masyarakat tertentu yang terkandung dalam kekayaan budaya lokal, baik yang berbentuk tangible maupun intangible.
Nilai kearifan lokal juga dapat dipahami sebagai kepribadian budaya bangsa yang mampu bertahan, mengakomodasi, dan menggabungkan unsur-unsur budaya luar ke dalam kebudayaan sendiri (Muhardjito dalam Lestari, 2000: 31)
Pada Kawasan Candi Prambanan, sedikitnya terdapat tiga kelompok nilai kearifan lokal yang dapat ditemui, yaitu aspek seni relief, aspek teknik konstruksi, dan aspek keletakan candi. Akan tetapi, nilai-nilai kearifan lokal yang telah disebutkan di atas, tampaknya tidak disadari oleh masyarakat luas dan hanya berkembang di kalangan para akademisi saja.
Wisatawan cenderung memandang candi hanya sebagai daya tarik wisata foto yang estetik. Tidak lebih dari itu. Berdasarkan hasil penelitian Yusnitha (2017: 10), 76% wisatawan domestik yang berkunjung ke Candi Prambanan datang agar dapat berfoto di latar bangunan candi yang megah. Bukan sesuatu yang salah memang, akan tetapi secara tidak langsung, hal ini mendevaluasi status Kawasan Candi Prambanan menjadi sebatas objek wisata saja.
Kawasan Candi Prambanan merupakan kawasan cagar budaya yang dijadikan daya tarik wisata. Wisatawan diharapkan datang dengan niat menikmati, mengeksplorasi, dan mempelajari nilai kearifan lokal yang melekat di Kawasan Candi Prambanan. Kondisi ideal seperti ini yang seharusnya terjadi menurut perspektif budaya.
Kondisi ideal tersebut sering kali tidak sejalan dengan kenyataan di lapangan. Masih banyak wisatawan domestik yang berkunjung ke Kawasan Candi Prambanan tanpa memedulikan status kawasan ini sebagai cagar budaya.
Berangkat dari masalah tersebut, Sandy Maulana Yusuf, Indah Nurafani Syarqiyah dan Naufal Raffi Arrazaq mengkreasikan Arloka Map. Arloka Map adalah peta wisata berbentuk fisik yang di dalamnya memuat informasi kearifan lokal candi di Kawasan Prambanan.
Sumber; Tim Arloka Map, 2017
Arloka Map menjelaskan tiga aspek nilai kearifan lokal di Kawasan Candi Prambanan yaitu aspek seni relief, aspek teknik konstruksi, dan aspek keletakan candi. Sasaran utama dari media ini adalah wisatawan domestik yang secara umum kurang dapat mengenali nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat di Kawasan Candi Prambanan. Agar mudah dipahami, informasi muatan nilai-nilai kearifan lokal tersebut dikemas menggunakan bahasa populer.
Wisatawan dapat membaca materi tersebut dengan memindai kode Quick Response (QR) yang terdapat pada peta. Wisatawan kemudian diminta menjelajah candi dengan Arloka Map untuk menemukan secara mandiri nilai kearifan lokal Kawasan Candi Prambanan.
Aspek Relief di Kawasan Candi Prambanan
Dari relief Kawasan Candi Prambanan, pola pertanian dan bentuk bangunan masa lalu masyarakat Nusantara, khususnya masyarakat masa Kerajaan Mataram Kuno (abad 8-10 M), dapat diketahui.
Untuk membantu mengolah padi, leluhur Nusantara menciptakan alat berupa alu dan lumpang. Alu sendiri adalah alat berbentuk seperti tabung memanjang yang biasanya terbuat dari kayu dan digunakan untuk menumbuk gabah agar terpisah dari sekamnya.
Lumpang adalah wadah yang digunakan untuk meletakkan gabah saat ditumbuk. Wisatawan domestik yang tengah menjelajah Candi Prambanan dengan Arloka Map dapat menemukan alu dan lumpang pada panel V relief cerita Krsnayana di Candi Wisnu.
Sumber; Tim Arloka Map, 2017
Dalam perjalanannya mengelilingi Candi Prambanan bersama Arloka Map, wisatawan akan mengetahui bila masyarakat masa Mataram Kuno sudah mempertimbangkan kondisi alam ketika membangun hunian.
Panel II dari relief Krsnayana menggambarkan bentuk bangunan beratap limasan yang dibuat dengan genteng sirap. Penggunaan bentuk atap limasan membantu tetes-tetes hujan yang mengguyur atap untuk cepat jatuh ke tanah. Pemilihan genteng sirap sebagai komponen penyusun atap membantu suhu dan kelembapan rumah tetap terjaga berkat kemampuannya menyerap panas berlebih.
Sumber; Tim Arloka Map, 2017
Panel XXII dan XXIV dari relief Krsnayana turut menunjukkan bentuk bangunan yang berkolong. Kolong ini dapat digunakan sebagai tempat menyimpan hasil pertanian. Rumah masa Mataram Kuno juga dibangun dengan letak lantai yang cukup tinggi dari permukaan tanah. Hal ini bertujuan untuk menghindari serangan binatang buas.
Relief bangunan di Candi Prambanan dapat menjelaskan kecerdasan leluhur Nusantara dalam mengadaptasi sumber daya alam yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan mereka akan bangunan.
Aspek Teknik Konstruksi di Kawasan Candi Prambanan
Dalam kitab Manasara Silpasastra disebutkan bahwa salah satu aspek terpenting dalam pemilihan lokasi candi adalah harus dibangun dekat dengan sumber mata air (Mundardjito, 2002: 11). Candi Prambanan juga mengikuti syarat tersebut.
Candi ini dibangun di dekat dua sungai purba. Salah satu sungai bahkan mengalir tepat di bawah kompleks candi. Satu sungai lain mengalir di timurnya. Akibat keberadaan kedua sungai tersebut, diperkirakan dahulunya terdapat genangan air sedalam kurang lebih 15 m di bagian selatan kompleks Candi Siwa (Suryolelono dan Rifa’i, 2013: 28).
Salah satu syarat untuk membangun monumen raksasa adalah daerah tersebut harus benar-benar kering agar tanah yang digunakan kuat menopang bobot monumen. Adanya aliran sungai yang mengalir tepat di bawah Kompleks Candi Prambatan memicu upaya kreatif leluhur Nusantara untuk mengalihkan aliran sungai tersebut menuju sungai di sebelah timurnya.
Besar kemungkinan, tanggul pengalih sungai itu dibangun di Halaman III sisi utara. Pekerjaan membangun tanggul diperkirakan beriringan dengan proses penimbunan dasar sungai purba. Material yang digunakan sebagai penimbun antara lain tanah pasir dan bekas galian saluran tanggul (Suryolelono dan Rifa’i, 2013: 34).
Aspek Keletakan di Kawasan Candi Prambanan
Candi Prambanan dan Candi Sewu merupakan dua bangunan keagamaan masif yang berbeda jarak sekitar dua kilometer. Menariknya, dua bangunan ini dibangun dengan latar agama yang berbeda. Candi Prambanan merupakan bangunan dengan latar keagamaan Hindu-Siwa. Sementara, Candi Sewu adalah bangunan berlatar keagamaan Buddha Mahayana.
Berdasarkan tafsir Prasasti Siwagrha, Candi Prambanan mulai dibangun pada pertengahan abad ke-9 M, yakni sekitar tahun 850 M oleh Rakai Panangkaran. Candi Sewu sendiri diperkirakan dibangun pada akhir abad ke-8 M juga di masa Rakai Panangkaran. Perkiraan ini didasarkan pada pembacaan Prasasti Manjusrigrha (792 M) dan Prasasti Kelurak (782 M).
Fenomena di atas secara implisit menandakan toleransi tinggi yang dimiliki masyarakat kerajaan Mataram Kuno. Arloka Map berusaha mengenalkan nilai toleransi yang dimiliki leluhur Nusantara kepada wisatawan masa kini.
Berdasarkan hasil uji coba kepada 50 responden, penggunaan Arloka Map ternyata mampu membantu menjelaskan informasi candi dan mengomunikasikan nilai kearifan lokal Kawasan Candi Prambanan kepada wisatawan domestik yang tengah berkunjung. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya nilai rata-rata responden sebanyak 4,28 poin.
Arloka Map adalah upaya guna mendekatkan masyarakat terhadap nilai-nilai intrinsik cagar budaya. Agar apresiasi yang keluar tak sebatas hanya mengagumi rupa fisik bangunan, akan tetapi jauh melampaui apa-apa yang terlihat. Semoga.
Catatan:
- Esai ini merupakan ringkasan dari artikel ilmiah berjudul “Arloka Map: Media Pengenalan Nilai-Nilai Kearifan Lokal di Kawasan Candi Prambanan” yang ditulis Sandy Maulana Yusuf, Indah Nurafani Syarqiyah dan Naufal Raffi Arrazaq dan terbit di Berkala Arkeologi, Vol. 39, No. 2, November 2019, hlm. 235-256. Boleh dibaca di sini!
- Bila kamu tertarik mencoba, Arloka Map yang masih berbentuk digital dapat diunduh di laman: ugm.id/arlokamap. Selamat menjelajah!
Daftar Pustaka:
Badan Pusat Statistik Kabupaten Klaten. (2018). Kabupaten Klaten dalam Angka 2018.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Sleman. (2018). Kabupaten Sleman dalam Angka 2018.
Lestari, W. (2000). Peran Lokal Genius dalam Kesenian Lokal. Harmonia: Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni, 1(2), 29-37.
Mundardjito. (2002). Pertimbangan Ekologis: Penempatan Situs Masa Hindu-Buda di Daerah Yogyakarta. Jakarta: Wedatama Widya Sastra dan École Française d’Extrême-Orient.
Sedyawati, E. (2006). Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta: Raja Grafindo.
Suryolelono, K.B. & Rifa’i, A. (2013). Menguak Misteri Pembangunan Candi Prambanan. Dalam Sektiadi (Ed), Candi Prambanan: Perspektif Multidisiplin dan Multistakeholder (h. 19–41). Yogyakarta: Balai Pelestarian Cagar Budaya Yogyakarta.
Yusnitha, T.S. (2017). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kunjungan Wisatawan ke Candi Prambanan. (Skripsi). Solo: Fakultas Geografi, Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Sandy Maulana
Penulis dan penyunting lepas. Kerap menganggap le meilleur des mondes possibles adalah dunia di mana semua orang senang orek tempe. Bisa disapa melalui sandymaulanay@gmail.com