Di Balik Ketakutan “Mau Kerja Apa Kalau Kuliah di Jurusan Sosial-Humaniora?”

Memilih jurusan kuliah bukanlah persoalan main-main, setidaknya di Indonesia.

Penulis: Sandy Maulana

Boleh dikatakan, perkara memilih jurusan kuliah layak masuk Top 5 hal-hal yang memusingkan muda-mudi tanah air bersama percintaan, bubur diaduk atau tidak diaduk, mengapa MU sewaktu-waktu bisa seganas Real Madrid musim 2013/2014 tapi di pertandingan lain setara Burnley, atau kapan Pamungkas menulis lagu dengan tema Persija.

Saya, dan barangkali juga kamu, telah atau mungkin sedang berada di fase ini. Demi alasan nostalgia dan berbagi ̶k̶i̶s̶a̶h̶-̶k̶i̶s̶a̶h̶ ̶s̶e̶d̶i̶h̶, dua pekan lalu, Lampau bertanya:

Berkisar dari beberapa komentar, kami menemukan satu jawaban ultimate yang telah mengiris banyak hati dan memupus harapan kuliah di jurusan-jurusan rumpun sosio-humaniora.

Apa itu? Yak, sudah pasti:

Kalau mau dirunut pelan-pelan, sebenarnya dari mana sih asalnya stereotipe kuliah di jurusan sosio-humaniora = susah kerja?

Dalam pandangan kebanyakan orang Indonesia: ketersediaan lapangan pekerjaan di bidang sosio-humaniora dirasa sempit.

Apa benar demikian? Mari menengok data pekerjaan utama yang dilakukan penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2020.

Meski tak bisa benar-benar spesifik menentukan kuota pekerjaan untuk lulusan sosio-humaniora, setidaknya dari tujuh belas bidang yang diklasifikasikan BPS, terdapat empat bidang yang paling mungkin bagi lulusan sosio-humaniora untuk bekerja linier sesuai keilmuan, yaitu bidang informasi dan komunikasi; jasa keuangan dan asuransi; jasa perusahaan; dan administrasi pemerintahan, pertahanan, dan jaminan sosial wajib.

Keempat bidang tersebut menyerap 8.857.901 tenaga kerja dari total 128.454.184 lapangan pekerjaan yang tersedia.

Jangan keburu muram dulu! Itu tadi kalau kamu memutuskan bekerja linier sesuai jurusan. Toh, di negara adidaya seperti Amerika saja, hanya 27% lulusan Universitas yang bekerja sesuai atau berdekatan dengan jurusan kuliahnya

Lantas kalau memang begitu, mengapa kita perlu repot-repot memilih jurusan yang tidak menjamin pekerjaan di masa depan?

Untuk menjawab pertanyaan itu, kita perlu mundur beberapa langkah dan melihat dalam lingkup yang lebih luas.

Sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia telah menurunkan tingkat kemiskinan lebih dari setengah dari angka di tahun 1999. Meskipun demikian, laporan dari World Bank di tahun 2015 memberikan alarm: pertumbuhan ekonomi yang pesat hanya dinikmati 20% penduduk terkaya Indonesia. Hal ini lantas menciptakan jurang ketimpangan yang makin melebar, tulis Yenny Tjoe, pengajar ekonomi di Griffith University.

Ketimpangan antar penduduk di suatu negara dapat diukur dengan indeks Gini. Angka 0 menunjukkan kesetaraan sempurna sementara angka 100 berarti ketidaksetaraan sempurna. Data dari World Bank mengungkapkan indeks Gini Indonesia meningkat dari 30.0 pada dekade 1990-an menjadi 39.0 pada 2017.

Kelompok terkaya, yang memiliki persentase 20% dari total penduduk Indonesia, menikmati makmurnya pertumbuhan ekonomi. Mereka adalah orang-orang yang pendapatan bersih per tahunnya di atas US$3.600 atau Rp50 juta, dan pengeluaran per harinya sekitar Rp140 ribu hingga Rp1,4 juta untuk makanan, transportasi, dan perlengkapan rumah tangga lainnya.

Di sisi yang dekat tapi berseberangan, lebih dari 3/4 penduduk Indonesia kesulitan untuk hanya sekadar memenuhi kebutuhan pelayanan dasar seperti makanan, kesehatan, dan pendidikan.

Buruknya, laporan lain dari World Bank menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia menganggap ketimpangan yang ada tidaklah selebar ketimpangan yang sebenarnya.

Senza Arsendy, peneliti di Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI), menyebut mispersepsi ini mendorong masyarakat untuk menganggap bahwa kesempatan untuk sukses terdistribusi lebih merata dibandingkan dengan kenyataan yang ada.

Ketika setiap orang dianggap memiliki kesempatan yang sama, maka wajar bila ikhtiar dianggap menjadi faktor penentu kesuksesan.

Hal ini lantas memicu meritokrasi atau keyakinan bebal kebanyakan orang-orang Indonesia bahwa kesuksesan dapat lahir dari kerja keras dan bakat, bukan karena modal kelas sosial yang lebih tinggi.

Alhasil, demi menutup jarak dengan mereka yang ‘sukses’, orang tua akan berusaha mengarahkan anaknya ke jurusan-jurusan kuliah yang dianggap mampu mendatangkan kekayaan di masa depan. Alih-alih apa yang menarik minat anak mereka.

Mimpi-mimpi itu tersebar di jurusan rumpun sains, teknologi, kedokteran, atau segelintir rumpun sosio-humaniora seperti hukum, ekonomika dan bisnis.

Kenyamanan finansial dan angan-angan terbebas dari belenggu hidup yang begini-begini saja jelas tergambar dari rata-rata gaji pekerja di bidang teknologi digital, manufaktur, hukum, dan ekonomi yang dilansir Robert Walters di tahun 2019 menembus angka ratusan juta per tahun.

Sementara, berdasarkan data BPS di tahun 2018, rata-rata pekerja bidang-bidang yang berkaitan dengan sosio-humaniora harus nrimo dengan penghasilan berkisar 3-4 juta per bulan. Angka ini sebenarnya masih tergolong cukup dan lega menimbang rata-rata penghasilan penduduk Indonesia di tahun 2018 adalah Rp2.829.130 🙂

Tapi mengingat harga tanah dan hunian yang naudzubillah, biaya pendidikan yang makin melambung, belum lagi untuk kebutuhan sehari-hari, dan sederet nominal-nominal lain yang apabila diteruskan mampu membuat kita ber-hhhhh serentak. Mari sama-sama menghembuskan napas.

Begitulah, temanku. Begitulah…

Sandy Maulana

Penulis dan penyunting lepas. Kerap menganggap le meilleur des mondes possibles adalah dunia di mana semua orang senang orek tempe. Bisa disapa melalui sandymaulanay@gmail.com

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: