Purbakala Undercover Jilid II

Perkara akan semakin runyam bila benda yang diinginkan ada di dalam museum, tercatat sebagai koleksi. Tidak banyak yang bisa dibahas, karena yang terungkap pun hanya segelintir.

Penulis: Tyassanti Kusumo | Editor: Sandy Maulana

Kasus pencurian koleksi Museum Taman Budaya Sulawesi Tenggara (25/1) menambah daftar panjang sederet kasus serupa yang telah terjadi di Indonesia sejak hampir enam dekade lalu.

Gambar 1: Koleksi Museum Taman Budaya Sulawesi Tenggara sebelum dicuri
(sumber: Akun Facebook Axa Electone)
Gambar 2: Kondisi rak penyimpanan koleksi Museum Taman Budaya Sulawesi Tenggara setelah pencurian
(sumber: Akun Facebook Axa Electone)

Nampak dari foto-foto yang tersebar di internet, rak-rak penyimpan koleksi di gudang belakang Museum Sultra kini lengang.

Keterangan mengenai berapa jumlah persis koleksi yang diambil masih simpang siur, tetapi setidaknya menurut keterangan Dody Syahrul Syah selaku Kepala Museum dan Taman Budaya Sultra,  koleksi yang raib kurang lebih adalah samurai tinggalan Jepang, keris, mangkok antik, pernak-pernik pengantin adat, gong kecil dari berbagai daerah di Sulawesi Tenggara, guci, serta peralatan logam dan kuningan.

Melihat banyaknya koleksi yang diambil, pihak kepolisian setempat menduga bahwa pelakunya jelas lebih dari satu orang dan bermain rapi. Tentu asumsi tersebut terdengar sangat masuk akal, mengingat diperlukan adanya alat pengangkutan, kawan yang mengintai untuk memastikan kondisi aman, ditambah mengangkut koleksi ber rak-rak tentu tak bisa dilakukan sendiri.

Bisa saja sih sendiri, tapi tentu akan memakan waktu yang cukup lama. Sementara, siapa pencuri yang cukup tolol untuk sengaja berlama-lama di TKP?1

Kembali, kendala utama yang langsung dilontarkan dalam penyidikan kasus semacam ini adalah ketiadaan rekaman kamera pengawas (CCTV).

Tidak usah bereaksi macam-macam lah kalian ini. Sekelas Museum Sonobudoyo dan Museum Nasional saja saat koleksinya raib juga selalu dalam kondisi yang sama, alias CCTV mati, rusak dan sebagainya. Menurut keterangan Dody, kamera pengawas sudah dipasang di dekat area gudang, tetapi (lagi-lagi) rusak2.

Meski begitu, tim di Museum Sultra justru bergerak cepat memasang CCTV baru yang berfungsi dari hasil patungan. Prinsip yang diterapkan rupanya sangat cocok dengan peribahasa klasik ini: lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali atau better late than never.

Selain itu, yang lebih menyulitkan lagi adalah ketiadaan satuan pengaman khusus alias satpam. Sejauh ini, tindak penyidikan yang sedang berlanjut adalah:

1) Polisi mencari rumah pribadi atau perkantoran yang memiliki kamera pengawas sehingga bisa membantu pelacakan,

2) Untuk mencegah keluar atau terjualnya koleksi ke pihak lain, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan sultra serta museum sudah merilis pengumuman terkait koleksi apa saja yang hilang, sehingga masyarakat  dapat turut memantau,

3) Pihak museum dan arkeolog dari Universitas Hasanuddin (Unhas) sedang mencocokkan dan mengidentifikasi koleksi yang raib dan tertinggal.

Kasus ini jelas bukan yang pertama. Lantas, apa yang sudah berhasil kita pelajari dari kasus-kasus sebelumnya? Apa yang kira-kira melatarbelakangi pencurian koleksi di museum maupun peredaran barang warisan budaya di pasar gelap?

Selanjutnya, apa yang bisa dilakukan untuk mencegah? Bagaimana evaluasi kinerja polisi sebagai satuan yang selama ini diberi kewenangan untuk mengusut? Apakah dari sekian banyak kasus yang terjadi, banyak pula yang telah berhasil diungkap oleh polisi? Sudah transparankah proses investigasi?

Wah, banyak juga pertanyaannya. Saya yakin daftar ini masih bisa terus dilanjutkan oleh tiap-tiap kepala yang sedang membaca tulisan ini.

Tentu bukan perkara mudah untuk menelisik dan melihat secara jernih, apa sumbernya dan siapa saja aktor yang selama ini terlibat. Demi menghindari perdebatan tiada ujung yang justru menyasar bukan pada akar masalah—seperti menyalahkan museum karena fasilitas yang terbatas, masyarakat yang terkesan cuek dan heboh hanya pada saat ada kasus dsb.—, baiknya kita runut pelan-pelan fenomena ini.

Pertama, saya sepakat dengan rilisan Vice bahwa saking kerapnya disatroni pencuri, laman Wikipedia sampai harus repot-repot membuat satu entri khusus. Seakan  memprediksi bahwa ini akan jadi daftar panjang dan membentuk sejarah. Yak! Sejarah pencolengan koleksi museum!

Perlu dicatat lagi, dari sederet info dan catatan kaki di entri ini, sebagian besar—sebab untuk mengatakan hampir keseluruhan rasanya sangat hiperbola—, bila diklik sumber asli beritanya akan nampak kalimat pungkasan: kasus ini masih diusut oleh kepolisian setempat.

Lebih menyedihkan lagi bila kita cek di peramban hanya sedikit kasus yang terungkap. Menandakan tak banyak yang kembali ke museum dan harus dicoret dari daftar koleksi, sebab telah menghilang selama lebih dari enam tahun.

Hilang itu harus diartikan pergi atau beralih ke mana? Tentu kita harus cukup bijak dan besar hati untuk mengakui bahwa ada pasar bagi barang-barang semacam ini. Bicara pasar, bicara tentang supply dan demand, jelas. Terlepas dari kasus yang berkaitan dengan koleksi museum, ada juga peredaran yang berbasis wilayah. Semisal di Bali, sekitar Brantas, Sangiran dan masih banyak lagi.

Pada fenomena yang terakhir, selain ada runner atau pelaksana teknis lapangan yang membereskan banyak hal demi memuluskan proses edar barang untuk sampai ke tangan kolektor, ada pihak lokal yang kerja utamanya adalah mencari barang-barang antik3.

Sudah mulai terlihat jelas jaringan kerjanya?

2017 silam, Direktur Pelestarian Cagar Budaya (PCBM), Harry Widianto mengatakan tidak ada mafia dalam perdagangan ilegal benda warisan budaya. Aktivitas ini disokong oleh mereka-mereka yang tergabung dalam kelompok kecil saja, lantas menjual ke luar.

Namun pernyataan Harry tersebut ditampik oleh Kresno Yulianto, staf pengajar Departemen Arkeologi UI. Kresno menyatakan bahwa keberadaan mafia nyata adanya, dan mereka sangat sigap bila ada info mengenai temuan-temuan baru.

Entah mana yang benar, yang jelas aktivitas ini membutuhkan sebuah jejaring yang solid. Ada puluhan pintu yang harus diterabas agar barang sampai di tangan klien.

Kedua, aktor-aktor sudah terlihat. Ada yang tinggal di dalam negeri, ada yang di luar. Mereka memiliki motif berbeda-beda. Bagi warga lokal yang gemar mencari benda-benda purbakala, tak semua bermotif ekonomi. Ada pula yang sekadar senang ketika menemukan. Umumnya mereka sudah tahu wilayah mana yang menjadi kantong “harta karun” tersebut.

Dilanjutlah tahapan ini ke para runner atau penadah yang motifnya macam-macam lagi. Ada yang ditugaskan langsung oleh jaringan kolektor di atasnya, ada yang hanya ingin menjual kembali. Di sinilah sebetulnya hal ironis kerap terjadi. Sebab temuan warga akan dibeli dengan harga yang jauh dari harga jual pihak kedua.

Sebagai contoh, runner membeli gading gajah dari warga seharga delapan juta. Namun, ketika menjual ke kolektor atau organisator lelang barang antik, benda tersebut jelas akan dihargai lebih tinggi. Ada ketimpangan nyata dan kehilangan yang besar. Sebab siapa bisa menjamin benda yang dijual tersebut tidak akan berperan dalam menghasilkan kajian terbaru di suatu bidang ilmu.

Barangkali kita “cukup beruntung” bila kolektornya masih ada di dalam negeri dan cukup sadar untuk ‘berkonsultasi’ ke profesional mengenai benda yang ia miliki, sebab kerugian berarti hanya pada ekonomi warga akar rumput. Meski begitu, yang namanya kerugian ya tetap rugi, apalagi tidak ada yang bisa menjamin praktik ini tidak akan berlanjut.

Perkara akan semakin runyam bila benda yang diinginkan ada di dalam museum, tercatat sebagai koleksi. Tidak banyak yang bisa dibahas, karena yang terungkap pun hanya segelintir.

Kasus 2010 di Sonobudoyo sebagai pencurian koleksi museum terbesar sepanjang sejarah Indonesia saja kini tak terdengar lagi kelanjutan penyidikannya. Saat itu yang digasak adalah koleksi emas dan logam.

Masyarakat Advokasi Warisan Budaya (MADYA) Yogyakarta pada April 2011 sempat melakukan unjuk rasa terkait penanganan kasus yang terkesan lambat oleh kepolisian. Tak berhenti sampai di situ, bahkan tiga tahun setelah pencurian, masih belum ada titik terang sehingga warga mengadakan aksi simbolis peringatan 1000 hari pencurian koleksi yang seakan mencibir ketidakgesitan pihak terkait.

Salah satu yang paling terekspos dari contoh kasus ini adalah pemalsuan koleksi Museum Radya Pustaka Solo pada 2007 silam yang penuh intrik. Tak tanggung-tanggung, sejumlah sosok besar seperti pengusaha Hashim Djojohadikusumo dan raja Surakarta, Sunan Pakubuwono XIII ikut terseret di dalamnya.

Bahkan yang lebih ironis, ada nyawa yang harus dibayar dalam pusaran perkara ini. Adalah arkeolog senior Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah, Lambang Babar Purnomo, yang gigih mengusut, bahkan menjemput langsung lima arca dari kediaman Hashim di Jakarta untuk dibawa pulang ke Radya Pustaka. Sayang, sebulan setelah penjemputan itu, beliau berpulang. Selengkapnya mengenai kasus ini, termasuk jaringan kasus lain yang pernah diteliti Lambang dan pengecekan hasil autopsi jenazah bisa dibaca di Majalah Tempo.

Dari pembahasan-pembahasan di atas, terang bahwa kepelikan ini bermula dari basa-basi dan omong besar pemerintah pada bahasan mengenai tinggalan budaya dan museum. Bahkan saya rasa sesederhana dalam tataran teknis mengelola situs dan menghidupkan ekosistem warga sekitar supaya mendapat manfaat dari situs masih jauh dari kata cukup.

Celah-celah di mana ekonomi tidak setara akan mudah dimanfaatkan oleh pihak lain yang lebih cerdik, lebih lagi bila didukung regulasi dan perangkat yang tidak solid. Studi antropologi saya pikir sangat dibutuhkan untuk membantu dalam mengobservasi pola perilaku warga sehingga dapat menghasilkan model dan kebijakan yang pas sebagai upaya preventif terjadinya perdagangan ilegal.

Mengenai museum, belajar dari pengalaman yang lalu-lalu, pemerintah dan organisasi terkait baiknya tak usah banyak membual tentang perhatian-perhatian yang telah atau akan diberikan pada museum. Apalagi bila dibalut tagline-tagline kebudayaan, kebangsaan, persatuan, nasionalisme. Jengah yang ada.

Ekosistem atau jaring pengaman permuseuman harus dikuatkan. Yang dinamakan modal bukan melulu gelontoran uang, tetapi juga penguatan SDM yang bergerak di dalamnya. Jangan sampai orang-orang yang mengurusi museum di tingkat atas adalah mereka-mereka yang ‘terjatah’ sehingga menyebabkan pengurus di lapangan diposisikan sebagai yang terus menerus diburu pertanyaan mengenai eksistensi museum, disalahkan atas kekurangan dan sebagainya, bahkan tidak diberi materi atau pelatihan yang signifikan.

Ada dosa struktural di sistem ini yang harus segera dibereskan dan ditebus dengan kerja nyata. Keberadaan museum yang semakin banyak mesti dioptimalkan operasinya sedemikian rupa. Perlu ada kelas-kelas khusus untuk membahas diskursus mengenai permuseuman dan kerja-kerja praktik di dalamnya.

Supaya apa? Supaya museum semakin terasa dekat dan relevan, supaya dana yang dikucurkan dapat sampai dengan selamat, dimanfaatkan dengan optimal untuk program, pengadaan sarana prasarana hingga menyejahterakan yang bekerja di dalamnya sehingga tak kekurangan suatu apapun.

Terakhir, terkait pelaporan dan pengusutan kasus pencurian koleksi museum. Telah ada beberapa produk hukum yang menyebut tentang urusan kehilangan benda warisan budaya. Salah satunya, Pasal 19 ayat (1) UU Cagar Budaya No. 11 Tahun 2010. Ayat ini menguraikan tentang kerusakan atau kehilangan cagar budaya agar dilaporkan ke instansi yang berwenang di bidang kebudayaan, kepolisian dan/atau instansi terkait setidak-tidaknya dalam waktu 30 hari setelah diketahui.

Pedoman Pengelolaan Koleksi Museum (2007) yang disusun oleh Direktorat Museum lebih spesifik menjelaskan tentang koleksi yang hilang agar segera dilaporkan pada Kepala Bagian/Bidang, Kepala Museum dan kepada polisi setempat. Sayangnya, bagian ini hanya dibahas dalam bagian “Kebijakan Meminjamkan dan Meminjam Koleksi”.

Dari dua bagian tadi terlihat belum adanya prosedur jelas yang harus dijalankan, seperti pasca pelaporan dan proses advokasi. Saya pikir perlu dibuat lagi satu prosedur untuk menangani kasus-kasus istimewa seperti ini. Di dalamnya harus mengatur secara tegas batas waktu penyidikan, siapa saja yang perlu diperiksa, SOP pembukaan museum pasca penyidikan, proses apa saja yang harus dilakukan dan sebagainya.

Hal penting lain, terkait penyidikan selama ini selalu polisi yang ditugaskan. Saya pikir polisi sudah terlalu banyak kerjanya di republik ini. Supaya tidak semakin mumet karena bidang yang beraneka ragam dan menghasilkan kesal belaka karena tak berhasil mengusut kasus, lebih baik dirancang saja satu satuan khusus berikut peraturan pemerintah yang mengatur tentang kerja mereka dan prosedur pengusutan-pelaporan kasus-kasus seperti ini. Anggotanya bisa berasal dari orang-orang yang bergiat di bidang purbakala atau kelompok independen yang dibekali pengetahuan warisan budaya sekaligus praktik intelijen sehingga tanggap, gesit dan intens dalam melakukan penyidikan.

Tak lupa, gerakan masyarakat seperti MADYA atau bahkan komunitas pegiat budaya sangat berperan penting dalam proses mengawal dan mengadvokasi kasus. Keberadaan pihak ketiga (selain museum dan penyidik) akan menghasilkan kontrol, desakan organik dan narasi yang imbang.

Doa saya, agar daftar tak makin panjang dan kita mampu berbesar hati mengakui keluputan dalam perkara ini tanpa berhenti untuk terus belajar.

1 Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sultra, Asrun Lio dalam wawancara dengan kompas menambahkan bahwa sejumlah koleksi tercecer di sekitar gudang, menandakan bahwa komplotan tersebut cukup kewalahan dan tergesa-gesa dalam mengangkut barang. 

2 Namun, menurut penuturan Kepala Polsek Baruga Ajun Komisaris I Gusti Komang Sulastra kepada kompas, pihak museum tidak memiliki kamera pengawas (CCTV).

3 Selengkapnya tentang tupoksi runner dan jaring perdagangan benda warisan budaya bisa dibaca di bagian ‘Lambang dalam Pusaran Mafia Purbakala’ dalam Di Balik Investigasi Tempo 01 (2017) hlm 94-123. 

Tyassanti Kusumo

Bercita-cita mendirikan klub memasak remahan sayur dalam kulkas. Bisa diajak korespondensi melalui alamat surel tyassantikd@gmail.com 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: