Harau Dream Park: Aneh, tapi Ramai Dikunjungi

Tema yang diusung Harau Dream Park sebenarnya lumayan variatif sih, tapi sayangnya nggak selaras aja dengan alam. “Eh, mengapa?” tanyamu.

Penulis: Jenifer Papas | Penyunting: Sandy Maulana

Kamu sudah pernah mendengar soal Harau Dream Park belum? Kalau belum, dan biar kita bisa satu konteks dalam tulisan ini, jadi… Harau Dream Park adalah konsep baru dari wisata Lembah Harau yang letaknya ada di Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatra Barat. 

Konsep wisata ini sebenarnya hanya mengambil sebagian kecil wilayah Lembah Harau, tapi ada yang janggal dan perlu dikritisi. Apa itu? Sabar…

Nih tengok dulu sekilas penampakannya:

Foto 1. Kawasan Lembah Harau
(sumber: Posmetro Padang)
Foto 2. Salah satu spot foto di Harau Dream Park 
(sumber: topsatu.com)

Tuh, kelihatan banget kan bedanya…

Tema yang diusung Harau Dream Park sebenarnya lumayan variatif sih, tapi sayangnya nggak selaras aja dengan alam. “Eh, mengapa?” tanyamu. Karena harusnya, dalam bayanganku, “lembah” adalah bentang alam yang dikelilingi oleh pegunungan atau perbukitan, pemandangan yang elok dipandang, apalagi untuk melepas penat dari kehidupan urban. Cocok! Namun, pengertian itu sudah nggak berlaku lagi buat Lembah Harau yang sekarang.

Terbaru, Harau Dream Park menambahkan macam-macam instalasi miniatur bergaya Eropa dan Asia. Kamu akan menemukan Eiffel, Pisa, bangunan khas Eropa, gerbang Torii seperti di Kuil Fushimi Inari, jembatan dan bangunan tradisional Korea, Tulisan I Love (dalam logo) Seoul, dan banyak objek lainnya. Ah rasanya seperti keliling dunia!

Konsep ala Eropa dan Asia yang ditawarkan sejatinya bukan hal yang baru. Banyak objek wisata lain yang mengusung tema serupa, dan terbukti ramai dikunjungi. Khusus Harau Dream Park, konsep ‘Eropa-Asia wannabe’ dikombinasikan lagi dengan dengan konsep warna-warni.

Sebagai salah satu masyarakat Sumatra Barat alias akamsi, saya mencoba memahami alasan kenapa Harau Dream Park ramai dikunjungi, meski aneh. Apalagi di wilayah yang katanya kental akan adat dan budayanya.

1. Masyarakat sekitar sudah bosan dengan alam.

Bosan dalam artian alam sudah tidak bisa dilepaskan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Sumatra Barat. Masyarakat hidup berdampingan dengan alam, sesuai falsafah Minangkabau, “alam takambang jadi guru”.

Kehadiran instalasi miniatur ala Eropa dan Asia ini, menjadi satu hal yang baru bagi masyarakat. Sehingga, menarik minat masyarakat sekitar untuk berkunjung.

2. Budaya wisata “baru” swafoto.

Sebelum menyajikan wisata ‘ala-ala’, masyarakat juga berbondong-bondong datang ke Lembah Harau untuk sekadar swafoto di depan bangunan kampus Insan Cendekia Boarding School (ICBS).

Bentuk bangunannya biasa saja, dengan atap gonjong, khas rumah adat Minangkabau. Yang membuat lokasi ini jadi menarik ialah pohon tanpa daun, seperti pohon ketika musim gugur, dan permukaan tanah yang ditutupi pasir berwarna putih.

Jika kamu berfoto di sana, niscaya kamu akan terlihat seperti sedang di luar negeri, apalagi jika ditambah dengan sentuhan aplikasi editing foto kekinian. Beuh! Seketika spot foto tersebut menjadi incaran, termasuk saya kala itu yang diajak oleh saudara perempuan saya. hehehe.

Meski tempat wisata tersebut tidak menawarkan edukasi, pengunjung sudah puas dengan hasil fota-fotonya saja. hehehe.

Foto 3. Bergaya di depan ICBS (sumber: phinemo.com)

3. Tersedianya objek wisata pendukung

Tidak cukup hanya berkunjung ke Lembah Harau, rata-rata wisatawan akan melanjutkan perjalanan ke peternakan sapi yang dikenal dengan nama Padang Mangateh. Lokasi peternakan ini berada di kaki Gunung Sago. Dari peternakan akan tampak hamparan hijau yang luas seperti Selandia Baru. Sebentar, sejujurnya saya capek lokasi-lokasi ini harus disamakan terus dengan luar negeri, tapi ya gimana lagi kan inferiority complex adalah sebagian identitas kita~ (hah, kita???)

Masuknya tidak boleh sembarangan, harus memiliki izin. Ketika saya ke sana memang benar ditanyakan izinnya dahulu, tapi ujung-ujungnya ya diperbolehkan masuk. Ternyata di lokasi juga cukup ramai. hmmmmm. Seharusnya ini memang bukan dijadikan tempat wisata, karena akan mengganggu sapi-sapi. Eits, jangan lupa, karena sejatinya tempat ini adalah peternakan sapi. Lagi-lagi, kunjungan hanya untuk fota-foto saja.

Nasi sudah jadi bubur. Mungkin pepatah inilah yang cocok menggambarkan keadaan Lembah Harau sekarang. Masyarakat sudah terlanjur senang dengan apa yang ditawarkan Harau Dream Park: sebuah pengalaman unik keliling dunia hanya dalam satu jam. Ah, mungkin juga bisa kurang dari satu jam.

Masyarakat rela kepanasan, yang penting mendapatkan foto yang bagus untuk diunggah di akun media sosial masing-masing. Bahkan saya iseng cek video Lembah Harau di Youtube, ternyata jumlah tayangan beberapa video sudah lebih dari puluhan ribu. Siapa sangka, memang sebanyak itu yang tertarik. Di dunia ini bukan hanya ada dirimu dan teman-temanmu, yaaa kawanku~ Yang penting masyarakat senang, pemerintah daerah senang, semua senang!

Lain kali, saya mau deh bikin konsep alternatif yang lebih selaras dengan alam dan budaya lokalnya. Ah, masak sih saya yang bukan siapa-siapa harus turun tangan? XIXIXI

*Tulisan ini pernah naik tayang pada 17 Januari 2021 dan disunting kembali pada 19 Januari 2021 untuk keperluan memperjelas lingkup wilayah Harau Dream Park dan Lembah Harau secara keseluruhan.

Jenifer Papas

Sedang suka-sukanya dengan dunia visual, audio visual, media dan publikasi. Ingin punya studio kreatif dan kebun buah. Masih menetap di Yogyakarta, suka kerja dan ngobrol jadi langsung aja kontak di jeniferpapas@gmail.com 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: