Pencarian selama 10 menit akhirnya menemui titik terang. Sebuah nisan berbatu ditemukan di antara dua pohon.
Penulis: Sholahuddin Al Ayubi | Penyunting: Sandy Maulana
“Esok Sabtu ikut bapak, tengok batu nisan yang tumbuh seperti pohon”.
Ucapan Pak Ating yang tiba-tiba jelas mengejutkanku. Memang, di sela-sela pakatan[1] warga Desa Kumba, aku, Pak Ating, dan Abang Karim terlibat obrolan serius. Kami bertiga membicarakan sejarah Nusantara, khususnya Kesultanan Sambas. Awal mula berdirinya, keterkaitan antara Kesultanan Sambas dengan kerajaan lain, hingga siapa saja keturunannya kami bicarakan di dalam tarub[2] yang terpasang di depan rumah empunya acara pernikahan.
Dari obrolan terbitlah celetukan, dari celetukan terucap janji. Aku dan Pak Ating sepakat untuk pergi ke Hutan Sentangau[3], tempat di mana nisan itu berada, hari Sabtu. Hari yang ditunggu tiba. Kami naik motor berdua pergi ke Hutan Sentangau, sebab bangkung[4] tidak mungkin digunakan di saat air sungai surut pada musim kemarau.
Perjalanan ke Hutan Sentangau memakan waktu selama 30 menit. Jalan yang dilalui oleh motor yang kami tumpangi sangatlah buruk. Medan jalan berbukit-bukit mengikuti bentang lahan. Perjalanan juga terasa berat sebab tanah lempung dan bebatuan yang menghadang laju roda. Becek di kanan kiri menyebabkan kami terjerembab beberapa kali.
Kami tiba di lokasi. Nisan tersebut terletak di sebuah bukit yang dikelilingi oleh hutan sawit milik sebuah perusahaan transnasional. Menariknya, pada bukit tempat nisan tersebut berada, ditemukan pohon durian yang menjulang gagah di antara rimbunnya pepohonan bukit. Bagi Pak Ating, keberadaan pohon tersebut penting sebab membedakan bukit nisan dengan banyak bukit-bukit lain yang ada di sekitar lokasi.
Untuk menuju ke tempat nisan, lebatnya semak dan ranting pohon yang menjuntai harus kami terjang. Ketiadaan parang menyulitkan langkah kami menuju ke dalam. Oh iya, berhati-hatilah terhadap akar pohon, salah-salah dia juga bisa mencelakakan kakimu.

(Dok. Sholahuddin Al Ayubi)
Cukup sulit untuk menemukan nisan tersebut. Dedaunan yang menempel di ranting-ranting pohon menyempitkan pandangan kami. Batang pohon yang berlumut juga menyamarkan mata dalam membedakan pohon dan bebatuan. Kami sempat berputar-putar. Ingatan Pak Ating tidak bisa diandalkan sepenuhnya di dalam hutan sebab tidak ada tanda pasti di mana letak nisan itu berada.
Pencarian selama 10 menit akhirnya menemui titik terang. Sebuah nisan berbatu ditemukan di antara dua pohon. Nisan lain juga ditemukan, tertimbun batang pohon yang entah bagaimana batangnya tumbuh tepat di tengah-tengah kuburan.

(Dok. Sholahuddin Al Ayubi)
“Di sini seharusnya ada empat nisan, cukup sulit mencari yang lain apalagi kondisi (lebat) seperti ini,” ucap Pak Ating.
Kami kemudian mencari dua nisan lain yang konon berdekatan dengan lokasi dua nisan sebelumnya. Lama kami berputar-putar, ketemulah jua apa yang kami cari. Dua nisan lainnya berjarak sepelemparan batu dari makam pertama. Mereka terlindung semak-semak. Posisi kedua makam membujur ke arah yang sama.
Yang membedakan antara kubur pertama dengan kubur kedua adalah bentuk nisannya. Pada kubur pertama, batu nisannya berbentuk setengah tabung. Cekung di depan dan rata di belakang. Sedangkan untuk makam kedua bentuk nisannya lonjong dan meruncing ke atas, seakan bakal tumbuh seperti pohon.

(Dok. Sholahuddin Al Ayubi)
Sayangnya, tidak ada keterangan siapa yang terkubur di dalamnya. Batu nisan yang berdiri pun bungkam. Tidak ada tulisan yang terukir di permukaannya. Prasasti atau bentuk rekam catatan lain sulit kami temukan sebab ranting dan semak yang berserakan menghalangi kami untuk mencarinya di tanah.
Menurut Pak Ating, mereka yang bersemayam di tanah ini masih memiliki ikatan keluarga dengan bangsawan Kesultanan Sambas. Mereka bisa tinggal dan menetap di Hutan Sentangau sebab amukan Jepang. Pada masa pendudukan Jepang, tentara Jepang ingin membantai habis seluruh keluarga bangsawan yang ada di Kalimantan, khususnya bangsawan Kesultanan Sambas. Maka dari itu, keluarga istana pun mengungsikan dirinya ke dalam hutan.
Selama kekuasaan Jepang, mereka bertahan hidup di dalam hutan. Sebuah bangunan layak huni konon katanya pernah dibangun di sini. Barang-barang kerajaan seperti payung dan pusaka, yang menjadi tanda kebesaran kerajaan, disimpan di sana. Sebuah perkebunan turut dibuka di tanah itu demi menghidupi pengungsi yang tinggal. Hewan ternak seperti sapi yang dibawa dari Sambas diternakkan pula di sana. Mereka tetap tinggal di dalam hutan hingga Jepang angkat kaki dari tanah Kesultanan Sambas.
Setelah Jepang angkat kaki, mereka kembali ke istana. Barang-barang pusaka kerajaan dikembalikan ke istana. Pejabat-pejabat istana yang ikut lari dipulihkan jabatannya. Semua dikembalikan sebagaimana mestinya. Hanya hewan ternak yang mereka tinggalkan di dalam hutan. Konon katanya, sapi yang pernah diternakkan sengaja dilepasliarkan. Mereka akhirnya berkeliaran di dalam hutan dan sekarang menjadi sapi hutan.
Begitulah. Makam kuno yang tersembunyi di rerimbunan lebat Hutan Sentangau masih menyimpan misteri kepingan masa lalu Kesultanan Sambas.
Catatan:
[1] Pakatan: musyawarah dalam masyarakat melayu Sambas sebelum mengadakan pesta pernikahan. Biasanya membahas teknis acara beserta kelengkapannya.
[2] Tarub: tenda pernikahan. Biasanya terbuat dari kayu dan ditutup terpal plastik.
[3] Hutan Sentangau: salah satu hutan di tepi aliran Sungai Sentangau yang berada di Dusun Sindang Kasih, Desa Kumba, Kecamatan Jagoi Babang, Kalimantan Barat.
[4] Bangkung: perahu berukuran besar dengan ujung depan berbentuk runcing. Digerakkan oleh mesin motor di bagian belakang.

Sholahuddin Al Ayubi
Hai, aku Sholahuddin Al Ayubi. Mahasiswa Sastra Indonesia UGM yang tertatih-tatih mempelajari masa lalu Indonesia. Jika ingin berbagi kabar bisa dihubungi melalui salahudin406@gmail.com