Semua manusia perahu tahu risiko-risiko buruk yang mungkin timbul dari eksodus, tapi mereka teguh berprinsip it’s better to drown at sea than to live under communism (Duong, 2000).
Penulis: Hot Marangkup Tumpal S. | Penyunting: Sandy Maulana
Beberapa bulan lalu, tepatnya Maret, saya mendengar wacana bila pemerintah Indonesia ingin membangun sebuah rumah sakit khusus untuk penanganan Covid-19 di Pulau Galang, pulau seluas 80 hektare di tenggara Batam. Ini jelas wacana brilian—update: rumah sakit ini sudah jadi dan telah beroperasi—tapi yang membuat gagasan tadi tambah cemerlang, pemilihan Pulau Galang memiliki latar kisah kemanusiaan yang menghangatkan hati.

Semua bermula ketika Saigon, ibu kota Vietnam Selatan, jatuh ke tangan simpatisan komunis (Vietnam Utara) pada 30 April 1975. Kekalahan Vietnam Selatan yang nasionalis, demokratis, dan anti komunis menjadi akhir dari perang saudara yang telah berlangsung sejak tahun 1959 di Vietnam (Winarko dalam Bunari, 2017).
Kejatuhan Saigon menjadi awal dari eksodus orang-orang Vietnam Selatan. Mereka kabur menggunakan perahu sehingga kelak dunia mengenal mereka dengan sebutan manusia perahu (boat people) (Bunari, 2017). Beberapa peristiwa seperti sentimen terhadap etnis Tionghoa, invasi Republik Rakyat Tiongkok ke Vietnam, dan beredarnya kabar bahwa akan dibangun tempat penampungan pengungsi, ikut mendorong terjadinya eksodus pada tahun-tahun berikutnya (Budiman, 2012).
Perang yang usai tidak menandakan permasalahan telah selesai. Kondisi Vietnam yang labil pascaperang mengakibatkan banyak penduduk Vietnam, terutama Vietnam Selatan, meninggalkan negara mereka untuk mencari negara baru demi kehidupan yang lebih baik. Mencari negara lain untuk mengungsi dirasa lebih elok daripada menetap di negara sendiri yang tak bisa memberikan jaminan hidup aman dan sejahtera (Fandik, 2013).
Manusia perahu umumnya menggunakan perahu nelayan untuk mengungsi ke berbagai negara seperti Hong Kong, Filipina, Malaysia, Thailand, dan Indonesia. Supaya aman, mereka kabur diam-diam pada malam hari. Beberapa orang membeli perahu besar yang dapat menampung ratusan penumpang. Sementara sebagian yang lain berdesak-desakan di perahu sempit yang sudah rapuh. Bagi yang kaya, mereka cukup menyuap para pejabat dan pemerintah Vietnam sehingga mendapatkan surat izin keluar dan kapal besar, sedangkan manusia perahu perlu bertaruh nyawa mengarungi Laut Cina Selatan yang dikenal memiliki ombak tinggi dan berbahaya dengan perahu ala kadar (Duong, 2000).

Sumber: Quan Tue Tran (2012)
Manusia perahu juga harus bertahan dari kelaparan, kehausan, penyakit, badai, dan serangan bajak laut di sepanjang perjalanan mereka. Pertengkaran dan perebutan makanan adalah pemandangan hari-hari. Nasib buruk demi nasib buruk yang terus menghampiri menyebabkan beberapa dari mereka tidak pernah sampai di tanah yang dijanjikan. Mereka, para pemberani yang mati di perahu, dikenang dengan istilah floating coffin (Tran, 2012).
Sebagian lain, yang juga sama tidak beruntungnya, harus berkali-kali mencoba melarikan diri sebelum berhasil sampai di pulau pengungsian pada percobaannya yang mungkin ke-16. Sayang, beberapa dari mereka tidak bangun lagi dari tidur pertamanya di pulau tersebut (Swastiwi, dkk., 2012). Semua manusia perahu tahu risiko-risiko buruk yang mungkin timbul dari eksodus, tapi mereka teguh berprinsip it’s better to drown at sea than to live under communism (Duong, 2000).


Sumber: Atas: Lloyd Duong (2000). Bawah: insideindonesia.org
Di Indonesia, tulis Isnaeni, 75 manusia perahu pertama kali tiba di Pulau Laut, Kepulauan Natuna, pada 25 Mei 1975. Lalu disusul kedatangan di Pulau Anambas, Pulau Bintan, Pulau Pengibu, dan pulau-pulau kecil lainnya. Pada awalnya, penduduk setempat menampung dan merawat mereka. Pemerintah daerah pun ikut memberi bantuan. Akan tetapi, jumlah manusia perahu yang semakin banyak dan tersebar di berbagai pulau menyulitkan pengurusan mereka.
Jumlah yang besar juga berarti peningkatan permintaan kebutuhan harian. Sementara stok yang dimiliki pemerintah dan penduduk setempat terbatas (Swastiwati dkk, 2012). Indonesia sendiri termasuk negara yang paling banyak didatangi pengungsi Vietnam. Sampai Juni 1979, tercatat ada sekitar 47.000 pengungsi (Budiman, 2012).
Ketegangan yang sempat timbul antara manusia perahu dengan penduduk wilayah yang mereka singgahi menyebabkan negara-negara Asia Tenggara sepakat untuk tidak lagi menerima pendatang baru. Negara-negara ini lalu mengadakan pertemuan dan siap bekerja sama meringankan beban pengungsi dengan menyiapkan tempat transit sementara dengan batas waktu dan jumlah tertentu sesuai dengan kemampuan negara masing-masing.
Pulau Galang akhirnya dipilih oleh pemerintah Indonesia karena letaknya yang strategis, wilayah yang cukup luas, dan penduduknya paling sedikit (Budiman, 2012; Fandik, 2013; Ismayawati dalam Bunari, 2013). Pengelolaan Pulau Galang dilakukan pemerintah Indonesia bekerja sama dengan UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees).
Pembangunan konstruksi kamp pengungsi di Pulau Galang dilakukan sejak bulan Desember 1979 dan selesai pada bulan Oktober 1980. Negara donor dan UNHCR menanggung biaya pengelolaan tempat penampungan, sedangkan pemerintah Indonesia mengurusi hal teknis bagi pengungsi. Di tempat ini, UNHCR melakukan pendataan dan memproses pengungsi untuk ditempatkan di negara ketiga (Budiman, 2012).
Sebelumnya, pada 2 Juli 1979, telah dibentuk tim Penanggulangan dan Pengelolaan Pengungsi Vietnam (P3V) yang diketuai Benny Moerdani. Tim ini bertugas mengoordinasikan pengamanan dan penyelesaian masalah pengungsi Vietnam di Kepulauan Riau, serta kegiatan pengurusan pengungsi, dan penyalurannya ke negara ketiga bekerja sama dengan UNHCR (Fandik, 2013; Simanulang, 2015). Presiden Soeharto jelas memberi perhatian kepada program ini karena sebenarnya Indonesia tidak meratifikasi Konvensi Status Pengungsi Tahun 1951 dan Protokol Mengenai Status Pengungsi 31 Januari 1967.
Para pengungsi yang tersebar di berbagai tempat akhirnya dipindahkan ke Pulau Galang. Beberapa negara memberikan bantuan pembangunan fasilitas. Sedikitnya, ada 48 bangunan yang dibangun di kamp pengungsi ini seperti gereja, wihara, sekolah, penjara, rumah sakit, dan barak (Bunari, 2017).
Antara 1979 hingga 1996, kamp ini menampung lebih dari 120.000 pengungsi dari Vietnam dan Kamboja (Tran, 2012). Namun, jumlah pengungsi dari Kamboja hanya sekitar satu persen dari pengungsi Vietnam sehingga kamp pengungsi ini lebih dikenal dengan nama Eks Kamp Vietnam (Swastiwi, dkk., 2012). Para pengungsi juga mendapatkan bantuan dari berbagai lembaga dalam dan luar negeri (Budiman, 2012).

UNHCR berpendapat bahwa para pengungsi harus dipersiapkan untuk hidup secara layak di negara ketiga (Bunari, 2017). Oleh sebab itu, mereka diberikan pelatihan dan pelajaran khusus untuk mempersiapkan diri menghadapi berbagai tantangan setelah keluar dari kamp pengungsi.
Mereka yang dianggap sudah memenuhi syarat kemudian diizinkan untuk tinggal di negara-negara maju seperti Amerika, Kanada, dan Australia. Namun, tidak semua dapat dikirim ke negara ketiga sehingga harus dipulangkan kembali ke negara asalnya setelah dilakukan perjanjian perdamaian.
Berdasarkan keputusan Agency Consultation on the Indo-China Refugee VI di Jenewa, Pulau Galang harus dikosongkan selambat-lambatnya pada 1995. Namun, hingga 30 Juni 1996 masih terdapat 4.628 orang pengungsi di Pulau Galang. Pengosongan baru terealisasi pada September 1996, tulis Isnaeni.
Pemerintah Indonesia tetap bergerak untuk mengosongkan Pulau Galang sesuai pada hasil kesepakatan bahwa pengelolaan pengungsi Vietnam hanya sementara. Untuk itu, dibentuklah Kogas (Komando Tugas) yang bertugas untuk mempercepat pemulangan para pengungsi di Pulau Galang (Djamhari dalam Bunari, 2017). Kondisi Vietnam yang pada tahun 1996 sudah membaik, ikut mempermudah proses pemulangan pengungsi kembali ke negara asalnya, tulis Matanasi.
Ketika kamp pengungsi Pulau Galang akan ditutup, banyak pujian disampaikan melalui televisi asing. Dibandingkan dengan beberapa kamp pengungsi seperti di Hong Kong dan Thailand, kondisi manusia perahu di Pulau Galang adalah yang terbaik. Pada hari Minggu 8 September 1996, Pulau Galang resmi ditutup sebagai kamp pengungsi. Infrastruktur dan peralatan lain yang dimiliki UNHCR diserahkan kepada pemerintah Indonesia.
Tempat penampungan pengungsi di Pulau Galang dipertahankan seperti kondisi terakhir ditinggalkan oleh para pengungsi. Penanganan yang baik juga menimbulkan kesan mendalam bagi para pengungsi sehingga pada 24 Maret 2005 pengungsi yang sukses di negara ketiga mengadakan reuni di kamp tersebut yang dihadiri sebanyak 142 orang (Swastiwi, dkk., 2012).

“Kemanusiaan itu tak mengenal batas negara dan agama. Ia tumbuh dari keajaiban nuranimu tanpa sekat, tanpa musim.”
Kisah di Eks Kamp Vietnam ialah contoh nyata dari sila kedua Pancasila dan kutipan Helvy Tiana Rosa di atas. Tertarik dengan kisah ini? Kamu bisa membaca versi lengkapnya di sini.
Referensi:
Budiman, Ryan Prasetia. 2012. “Kebijakan Indonesia terhadap Pengungsi Vietnam di Pulau Galang, 1979-1996”. Skripsi. Depok: Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Bunari. 2017. “Pulau Galang Sebagai Penampungan Pengungsi Vietnam”. Jurnal Seuneubok Lada. Vol. 4, No. 1, hlm. 25-37.
Duong, Llyod. 2000. The Boat People: Imprints on History. Toronto: Optimal World Publishers.
Fandik. 2013. “Penampungan Orang Indonesia di Pulau Galang”. Jurnal AVATARA Pendidikan Sejarah. Vol. 1, No. 1, hlm. 164-172.
Tran, Quan Tue. 2012. “Remembering the Boat People Exodus A Tale of Two Memorials”. Journal of Vietnamese Studies. Vol. 7, No. 3, hlm. 80-121.
Simanulang, Katerina Mayumi. 2015. “Pelaksanaan Operasi Komando Tugas (KOGAS) Kemanusiaan Galang 96 dalam Rangka Pemulangan Pencari Suaka Asal Vietnam Tahun 1996 di Pulau Galang Ditinjau dari Surat Edaran Direktur Jenderal Imigrasi Nomor: F-IL.01.10-1297 Perihal Penanganan terhadap Orang Asing yang Menyatakan Diri Sebagai Pencari Suaka Atau Pengungsi“. Skripsi. Sleman: Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Swastiwi, Anastasia Wiwik dkk. 2012. Pulau Galang, Wajah Humanisme Indonesia: Penanganan Manusia Perahu Vietnam 1979-1996. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Hot Marangkup Tumpal S.
Lumayan lama menetap di daerah yang masih memakai colokan listrik tipe G. Kadang (itu) digunakan untuk menyaksikan saluran TV3.