Meskipun jejak keberadaannya tercecer di banyak kronik, pembahasan mengenai Sriwijaya masih menyisakan tanda tanya, terutama soal lokasi ibu kota kerajaan ini.
Penulis: Sandy Maulana
Saat membicarakan sejarah, umumnya orang akan merujuk pada cerita-cerita yang melibatkan perang, cundang, darah, dan isak tangis, atau apa-apa saja yang mendebarkan dan berada di antaranya.
Apakah hanya itu saja? Tentu tidak. Orang bisa mengingat sejarah sebagai temali yang mengikat mereka yang berlainan ibu, suku, bahasa, dan warna kulit ke dalam entitas yang lebih besar: Negara.
Namun, yang jarang orang bicarakan, sejarah bukanlah sesuatu yang jernih dan jelas. Acap kali ia berupa topik abstrak yang mengundang silih lantang argumen para ahli di meja-meja kayu panjang, untuk memvalidasi keabsahan teorema dan kisah-kisah yang bakal dipercaya dan dituturkan 75 tahun ke depan.
Contoh sejarah jenis ini, yang dekat dan benar-benar diperdebatkan, adalah Sriwijaya. Di antara kemahajaraan besar yang bertumpu pada sektor perdagangan maritim seantero samudra, Sriwijaya berada di deretan teratas untuk urusan kemakmuran dan kedigdayaan, tulis Kallie Szczepanski.
Berdasarkan sejumlah kabar dari Cina, diperkirakan Sriwijaya sudah terbentuk sejak abad ke-7 M. I-tsing, pendeta Buddha dari Cina, dalam perjalanannya sepulang dari belajar agama di Nalanda, India pada abad ke-7 M, sempat singgah selama 4 tahun (685-689 M) di kerajaan bernama Shih-li-fo-sih yang diperkirakan merupakan Sriwijaya (Cœdès, 1968: 82).

Credit: L. joo (wikimedia)
I-tsing mendeskripsikan Fo-sih dikelilingi benteng. “Ada lebih dari 1000 pendeta Buddha di Fo-sih yang menguasai pengetahuan agama seperti di India,” tulis I-tsing dalam catatan perjalanannya, “A Record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago” yang diterjemahkan J. Takakusu.
Meskipun jejak keberadaannya tercecer di banyak kronik, pembahasan mengenai Sriwijaya masih menyisakan tanda tanya, terutama soal lokasi ibu kota kerajaan ini. Berbagai teori dimunculkan. Konsentrasi temuan prasasti yang padat di sekitar Palembang—tiga prasasti mayor Sriwijaya, yakni prasasti Kedukan Bukit, prasasti Talang Tuo, dan prasasti Telaga Batu ditemukan di wilayah ini—membuat Bambang Budi Utomo, arkeolog senior Indonesia, percaya Palembang adalah pusat kerajaan Sriwijaya.

Credit: Gunawan Kartapranata (Wikimedia)
Pendapat itu sebenarnya pertama kali dilontarkan G. Cœdès, arkeolog asal Perancis pada tahun 1918, yang kemudian didukung beberapa ahli lain seperti K.A. Nilakanta Sastri, Poebatjaraka, Slametmuljana, dan O.W. Wolters (Soejono & Leirissa, 2011: 85).
Tetapi, ada keberatan utama yang menantang pendapat ini karena selain prasasti, wilayah sekitar Palembang memiliki temuan yang minim. Sanggahan itu dilontarkan F.D.K. Bosch pada 1930 dan R.C. Majumdar. Menurut mereka, lokasi ibu kota Sriwijaya perlu dilacak di Jawa atau Ligor yang berada di wilayah Thailand sekarang (Soejono & Leirissa, 2011: 85; Majumdar, 1933: 121-141).
Dengan merekonstruksi peta Asia Tenggara dari kronik-kronik Cina dan Arab, J.L. Moens punya teori baru. Menurutnya, Sriwijaya pertama kali terbentuk di Kedah. Baru kemudian pindah ke daerah pertemuan Sungai Kampar Kanan dan Batang Mahat, di Muara Takus, Riau (Moens, 1937: 317-487).
Moens mendasarkan pendapatnya terutama dari kronik Cina yang menyebut jika orang yang berada di ibu kota Sriwijaya berdiri di tanah lapang ketika tengah hari, maka bayangannya akan hilang. Itu berarti, ibu kota Sriwijaya berada tepat di garis khatulistiwa.
Soekmono punya pendapat yang beda lagi. Menurutnya, Jambi lebih sesuai menjadi ibu kota Sriwijaya karena letaknya di teluk yang dalam dan terlindung, tapi langsung menghadap ke persimpangan jalur pelayaran Laut Cina Selatan, Selat Malaka, dan Laut Jawa (Soekmono, 1979: 75-84).
Boechari, pakar paleografi yang konon mampu membaca prasasti seperti membaca koran, berasumsi hingga 682 M ibu kota Sriwijaya ada di daerah Batang Kuantan, Riau. Baru setelah tahun 682 M, ibu kota pindah ke Mukha Upang, dekat Palembang (Boechari, 1979: 26-28).
Kebingungan para ahli mulai menemukan titik terang. Temuan situs permukiman kuno di situs Karang Agung dan Air Sugihan—yang dekat dengan Palembang—seperti manik-manih, gerabah, dan keramik dari Dinasti Sui (581-618 M) pada awal 2000-an diperkirakan menjadi bukti terbaru untuk memperkuat Palembang sebagai ibu kota Sriwijaya (Soeroso, 2003: 26; Soejono & Leirissa, 2011: 86).
Tentu dengan asumsi bahwa kedua situs ini merupakan pendahulu Sriwijaya di mana sebenarnya dari kronik Cina telah disebutkan nama Ko-ying dan Kan-t’-o-li sebagai dua daerah di pesisir pantai timur Sumatra yang eksis sekitar abad ke-4 M (Soejono & Leirissa, 2011: 63).

Credit: Google map diolah kembali oleh lampau.in
Dahaga penasaran hampir seabad tiba di muara. Dari Sriwijaya, kita dapat membongkar paham yang telanjur mengakar di kepala: bahwa sejarah adalah studi yang pejal. Dari Cœdès, Moens, Soekmono, dan Boechari, kita mendapat teladan tentang keuletan dan cinta kasih terhadap ilmu pengetahuan.
Daftar Pustaka:
Boechari. 1979. “An Old Malay Inscription of Sriwijaya at Palas Pasemah (South Lampung)”. Seminar Penelitian Sriwijaya. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Cœdès, G. 1968. The Indianized States of Southeast Asia. Kuala Lumpur: University of Malaya Press.
Majumdar, R.C. “Les rois Cailendra de Suvarnadvipa”. BEFEO 33, 121-141.
Moens, J.L. “Crivijaya, Yava en Kataha”. TBG 77, 317-487 (terjemahan dalam Bahasa Inggris oleh R.J. de Touche, 1940, di dalam JMBRAS 17, 1-108).
Soejono, R.P. dan Leirissa, R.Z. 2011. Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Kuno. Edisi Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka.
Soekmono, R. “Sekali Lagi Tentang Lokalisasi Sriwijaya”. Pra Seminar Penelitian Sriwijaya. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Soeroso. 2003. “Sumatra Selatan Menjelang Masa Sejarah” dalam Katalog Pameran Fajar Masa Sejarah Nusantara. Jakarta: Museum Nasional.

Sandy Maulana
Penulis dan penyunting lepas. Kerap menganggap le meilleur des mondes possibles adalah dunia di mana semua orang senang orek tempe. Bisa disapa melalui sandymaulanay@gmail.com