Perselisihan dangkal tak perlu diulang.
Penulis: Ahmad Kholdun Ibnu Sholah | Penyunting: Sandy Maulana
Memasuki Masjid Gedhe Mataram di Kotagede, Yogyakarta, menimbulkan perasaan yang berbeda dibandingkan kunjungan saya ke masjid-masjid lain.
Melihat gapura dan pagar yang menyambut, rawan membuat siapa saja yang mampir merasa seperti berada di candi, alih-alih di masjid.

Foto oleh Ahmad Kholdun Ibnu Sholah
Jika mendengar cerita masyarakat sekitar, akan dikisahkan bahwa dulu, ketika masjid ini dibangun, orang-orang Hindu yang sudah lebih dahulu menempati wilayah itu turut membantu dengan membangun pagar keliling dan gapura.
Maka tidak heran, jika pagar dan gapura Masjid Gedhe Mataram sangat kental dengan ornamen pra-Islam. Mulai dari meru yang bersusun, antefiks yang identik dengan ornamen candi, sampai kala yang jelas asalnya dari pengaruh ajaran Hindu dan Buddha.
Sebentar-sebentar.
Bagaimana mungkin ornamen-ornamen non-Islam ini bertengger pada halaman masjid?
Apakah para pendahulu yang membangun Masjid Gedhe Mataram tidak keberatan? Dan, bagaimana sebenarnya mereka serta generasi-generasi setelahnya memaknai keberadaan ornamen-ornamen itu?
Tanda, Simbol, dan Makna
Memahami makna, bisa menjadi perkara yang sukar, terlebih jika yang hendak dipahami adalah sesuatu yang pemberi maknanya saja sudah tiada, seperti tinggalan arkeologi.
Berbagai upaya dilakukan supaya arkeologi bisa memahami ada apa di balik artefak, termasuk upaya-upaya njlimet seperti semiotika.
Sebagai ilmu yang mempelajari makna dan penggunaan dari tanda serta simbol, semiotika menjadi salah satu perangkat yang sering dipinjam oleh para arkeolog.
Iya, dipinjam, karena awalnya semiotika berasal dari ilmu linguistik. Namun, karena ilmu-ilmu lain juga mempelajari simbol, maka semiotika mulai diadopsi oleh berbagai disiplin.
Ada banyak istilah-istilah keren dari semiotika, tapi sementara ini mari fokus pada dua di antaranya, yaitu; tanda dan simbol.
Perbedaan antara tanda dan simbol terletak dari bagaimana keduanya memperoleh makna.
Tanda, tidak punya makna referensial, artinya suatu tanda tidak bisa dipahami apabila berdiri sendiri. Makna tanda didapatkan jika tanda itu disusun dengan tanda-tanda lainnya atau dengan kata lain: melihat relasi antartanda.
Contoh gampang dari tanda adalah fonem.
Jika kita dihadapkan dengan fonem ‘me’ maka kita akan bingung apa maksudnya. Tapi jika fonem ‘me’ itu disandingkan dengan fonem ‘rah’ dan menyusun kata ‘merah’ maka dapat dipahami bahwa itu merujuk pada salah satu jenis warna.
Nah, di sini, kata ‘merah’ disebut penanda (signifier), sementara arti yang diberikan terhadap merah, yaitu warna dengan spektrum 400-484 Thz, disebut petanda (signified). Hubungan antara penanda-petanda ini penting untuk mengetahui makna tanda.
Berbeda dengan tanda, simbol punya makna referensial.
Sejak awal dibuat, makna simbol sudah disepakati masyarakat. Oleh karena itu, untuk tahu makna dari simbol, kita perlu paham konteks budaya dari simbol-simbol terkait.
Contoh lagi, telah diketahui bahwa merah itu penanda dari salah satu jenis warna. Namun, jika warna merah itu dipancarkan oleh tiang lampu yang ditempatkan di perempatan jalan, maka arti merah bukan lagi sekedar warna, tetapi juga keharusan untuk berhenti. Merah di lampu lalu lintas adalah salah satu contoh simbol.
Simbol di Masjid Gedhe Mataram
Kembali pada Masjid Gedhe Mataram. Salah satu ornamen yang sangat kontras dan jarang ditemukan di masjid adalah ornamen kala.
Kala di sini adalah simbol.
Dalam ajaran Hindu, kala merupakan salah satu pengikut Dewa Siwa yang setia. Ia ditugaskan menjaga tempat suci untuk Dewa Siwa.
Ornamen ini biasanya ditempatkan di ambang pintu candi dengan makna simbolis: menangkal hal-hal buruk masuk ke candi.
Di Masjid Gedhe Mataram, jika melihat peletakannya, ornamen kala juga dimaknai dengan makna yang sama dari asalnya.
Ornamen kala di Masjid Gedhe Mataram diletakan di puncak gapura paduraksa serta di bagian tengah kelir (tembok penghalang yang ada di balik gapura).

Foto oleh Ahmad Kholdun Ibnu Sholah
Penempatan di puncak gapura mirip dengan penempatan di ambang pintu candi sebagai jalan masuk. Sementara, penempatan di kelir juga sesuai dengan makna asli kala, karena fungsi tembok kelir, di samping untuk menghalangi bagian luar halaman ke bagian dalam, juga bermakna menangkal keburukan (tolak bala).
Melihat bahwa simbol kala tetap dimaknai sebagaimana makna aslinya yang berasal dari zaman Hindu Buddha, sepintas menunjukkan kebijaksanaan dan nilai-nilai luhur para pembangun Masjid Gedhe Mataram serta generasi-generasi setelahnya.
Ornamen kala yang secara simbolis bermakna baik, hanya karena asalnya dari agama lain, tidak kemudian dilarang untuk ditempatkan di halaman masjid.
Sebaliknya, bentuk-bentuk tersebut justru diterima dan bertransformasi dengan ajaran Islam. Caranya, dengan diberi makna baru dan menjadi simbol-simbol baru. Misalnya pada susunan-susunan gapura dan meru.
Menurut Bapak Warisman, salah satu pengurus Sekretariat Masjid Gedhe Mataram, jumlah undak gapura yang bersusun lima berkaitan dengan Rukun Islam. Sementara yang bersusun tiga berkaitan dengan tiga pilar agama Islam, yaitu: Islam, Iman, dan Ihsan.
Pemaknaan serupa berlaku pula untuk ornamen meru bersusun tiga yang terdapat di bagian atas pagar keliling. Dalam bentuk asalnya, meru adalah ciri khas atap-atap candi Jawa Timuran yang dimaknai sebagai penggambaran gunung.
Ornamen lainnya yang juga mengalami perubahan makna adalah antefiks.
Di Candi, antefiks menjadi ornamen dekoratif yang berbentuk dasar segitiga dan dihiasi dengan ukiran sulur-suluran. Di Masjid Gedhe Mataram, bentuk dasar antefiks masih serupa akan tetapi sudah banyak berkembang.
Atas penuturan Bapak Warisman, antefiks yang diletakan sepanjang pagar keliling halaman masjid membawa pesan filosofis bahwa orang Islam diharapkan dapat fleksibel dan menebarkan keharuman dalam kehidupan bermasyarakat sebagaimana ditunjukkan antefiks dengan motif sulur-suluran dan bunga.

Foto oleh Ahmad Kholdun Ibnu Sholah
Pemaknaan simbol-simbol ini, selain bermakna positif juga menjunjung nilai toleransi serta keberagaman dengan menerima bentuk-bentuk ornamen lokal yang berkembang sebelum Islam datang.
Ini penting sebab dua tiga tahun belakangan, Indonesia sempat dirundung persoalan pemaknaan.
Apabila kamu masih ingat, di penghujung 2019, sempat viral isu Masjid Iluminati. Bentuk segitiga pada arsitektur Masjid Al-Safar, Bandung, dengan sebuah ornamen lingkaran di tengahnya, dimaknai sebagai simbol segitiga mata satu—yang lekat dengan iluminati.
Tentu saja pemaknaan ini tidak bisa dibenarkan, karena dasar pemaknaannya sendiri yang tidak begitu jelas.
Alih-alih sebagai simbol iluminati, segitiga pada masjid ini bisa dilihat sebagai tanda, yang apabila disatukan dengan tanda-tanda lain seperti menara, atap, dinding dan lainnya membentuk sebuah penanda (signifier) mengenai konsep folding architecture.
Konsep folding architecture itu sendiri ialah desain arsitektur yang menekankan lipatan-lipatan serta bentuk-bentuk poligonal yang datar sebagai konsep utamanya.
Cukup disayangkan bahwa tampaknya ketergesa-gesaan dalam memaknai sesuatu dan yang berujung pada prasangka buruk, bukan terjadi pertama kali di Masjid Al-Safar.
Pada tahun 2017, fitur pengamanan yang ada di uang keluaran Bank Indonesia disebut sebagai lambang palu arit.
Yang terbaru, Bulan Agustus tahun 2020, desain resmi spanduk untuk menyambut kemerdekaan sempat dituduh sebagai lambang salib.
Kekeliruan-kekeliruan itu, di samping meresahkan juga memberikan dampak negatif yang menciderai nilai keberagaman.
Ada banyak perspektif yang dapat digunakan untuk memaknai simbol-simbol. Para pendiri Masjid Gedhe Mataram mengajarkan kita salah satunya, bahwa mengambil nilai positif dan saling menghargai dapat dilakukan dalam segala aspek kehidupan, terutama kehidupan beragama.
Saat ini, keberagaman menjadi nilai agung yang dimiliki Indonesia. Menjaga keberagaman tetap utuh dan tidak mencederainya adalah tanggung jawab bersama.
Agar kelak, tidak ada lagi prasangka-prasangka buruk terhadap saudara sebangsa hanya karena palu arit, masjid iluminati, spanduk salib, dan benda-benda cetek lainnya.
Referensi:
Ahmisa-Putra, Heddy Shri. 1999. “Strukturalisme Leuvi-Strauss untuk Arkeologi Semiotik” dalam Humaniora Vol. XI No. Mei-Agustus 1999. Hlm: 5-14.
Santosa, Revianto B., et al. 2014. Kotagede Khasanah Arsitektur dan Ragam Hias. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Setyowati, Endang, et al. 2017. Akulturasi Budaya pada Bangunan Masjid Gedhe Mataram Yogyakarta dalam Prosiding Seminar Heritage IPLBI. Hlm: 11-18.
Suwito, Yuwono Sri, et al. 2015. Kajian Prasasti dan Sengkalan di Makam dan Masjid Mataram Kotagede. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Utomo, Rizon Pamardhi, et al. 2005. Ensiklopedi Kotagede. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Tentang Penulis
Ahmad Kholdun Ibnu Sholah
Mahasiswa Arkeologi UGM angkatan 2017, punya cita-cita main ke Jawa Kuno, sekali-kali manjat tebing dan main di alam.