Awalnya para dosen juga ragu kalau kajian yang hendak saya lakukan ini dapat dikategorikan ke dalam kajian arkeologi. Untungnya, masih ada (beberapa dosen) yang mengapresiasi ide mentah ini dan membimbing saya sampai akhir.
Penulis: Tyassanti Kusumo | Penyunting: Sandy Maulana
Bagi siapa saja yang ingin merengkuh titel sarjana (ehem), menulis skripsi boleh dikatakan sebagai satu kelokan terakhir yang menanjak, curam, dan dipenuhi makhluk-makhluk berbahaya di sekelilingnya. Oke, yang tadi memang berlebihan, tapi sebagai siswi yang mentas dari ibu susuan (almamater) yang sama dengan Christommy Maratoma Sasabana, atau yang akrab disapa Tommy, saya pribadi sangat tertarik dan lantas tergugah untuk bertanya lebih lanjut mengenai proses menulis skripsi dan berbagai tantangan di dalamnya.
Bagaimana tidak, bila mengamati daftar skripsi lulusan arkeologi yang lazimnya langsung berkecimpung pada obyek materi, skripsi satu ini cukup berbeda. Sebagai gambaran, akan saya cuplikkan beberapa formula umum judul skripsi Departemen Arkeologi: Kajian Tipologi Yoni di Kabupaten X, Analisis Pola Diet Penghuni Gua X dari Sampah Dapur Periode X, Konservasi X di Kabupaten Y, Dampak X Terhadap Cagar Budaya di Y, Kajian Toponim di X berdasar Prasasti Y, Kajian Tata Ruang Stasiun X, dan sebagainya yang lebih panjang lagi. Kesemuanya akan berangkat dari tinggalan materi, membahas tinggalan materi, membahas waktu atau ruang yang mendasari munculnya tinggalan materi hingga rekomendasi terkait keberlanjutan keeksisan tinggalan materi. Sementara, Tommy mencoba peruntungan mentas dari akademi dengan menuliskan sesuatu yang berada /di antara/. Sebagai pengantar dan supaya lebih dapat gregetnya, sila mampir dahulu ke utas satu ini.
Sudah siap? Yuk kita langsung ngobrol saja!
Halo Mas Tom! Apa kabar? Lagi sibuk apa nih?
Kabar baik! Hahaha, kalau sekarang, jujur lagi sibuk menganggur dan mencoba peruntungan di bidang industri kreatif (gambar dan komik), tapi masih macet juga Bisa diintip gambar-gambarnya di akun Instagram: @sir.kuroneko hehe..
Waa syukur, semoga dilancarkan selalu semua upaya berkaryanya yaa š
Aaaamin. Terima kasih
Kalau begitu langsung saja ke topik hari ini, ya! Terkait penelitian skripsi, saya penasaran, apakah Mas Tom memiliki ketertarikan khusus terhadap media atau isu Gunung Padang?
Hmm.. awalnya sih tertarik, tapi lama-lama jenuh juga karena saking banyaknya isu terkait objek tersebut.. tapi ini menurut saya lho, ya, bisa subjektif sekali haha. Terus, untuk kajian media, hoaxes, wacana dan kawan-kawannya, memang menantang dan /seksi/ sih!
Manteeep! Kejenuhan waktu mengerjakan skripsi itu memang nyata adanya yah! Ngg.. nah, apa boleh diceritakan gimana awalnya kok bisa terpantik menuliskan Gunung Padang? Sudah dari lama memantau atau gimana?
Oke, jadi mulanya ide ini muncul dari bincang-bincang santai (kebiasaan lama saya dengan beberapa teman) dengan salah satu dosen, teman diskusi dan band bandanāMas Susā, dari obrolan itu tiba-tiba muncul ide (tentang media dan Gunung Padang). Akhirnya, saya coba memberanikan diri menuangkannya dalam bentuk tulisan. (Saat menulis) ada rasa ragu, minder dan tidak pede, itu pasti dan sering.. mengingat saya bukan seorang antropolog atau sosiolog. Tapi ya begitu, tanpa ada mereka (kawan-kawan) dan dosen saya ini, mungkin sampai sekarang saya masih gak tau mau nulis apa haha.
Lantas, gimana sih respon awal para dosen ketika tahu akan mengerjakan tema ini?
Nah, ini adalah bagian yang cukup berat. Awalnya para dosen juga ragu kalau kajian yang hendak saya lakukan ini dapat dikategorikan ke dalam kajian arkeologi, bahkan muncul judgement semacam “Halah mas, mbok udah bikin yang simple aja, gak usah sok-sokan, apa kamu mampu? Ini bukan topik buat S1 loh.” Untungnya, masih ada (beberapa dosen) yang mengapresiasi ide mentah ini dan membimbing saya sampai akhir.
Wah, ternyata begitu ya lika-liku awalnya. Nah, tapi kalau boleh tahu, kenapa milih media daring dan bukan media offline?
Awalnya, saya ingin mengkaji baik dari media offline maupun daring, tapi karena keterbatasan waktu dan (saat itu) mulai mengerjakan pas akhir 2016, sehingga bagi saya mungkin ini bakal jadi kendala karena susah juga dapat data dari media offline (mengingat ini kan isu yang sudah cukup lama ya, dari 2011-2014), karena itu saya menggunakan media daring saja dengan dasar asumsi bahwa media daring cukup mencakup semua golongan dan usia, juga jadi salah satu platform baru di era serba digital ini, dan cukup memberi gambaran umum tentang pemberitaan Gunung Padang.
Nah, padahal ini media daringnya kan banyak yang bukan media utama, itu ada kurasi medianya atau nggak, ya? Karena sepertinya ada beberapa pemberitaan yang nggak dimasukkan.
Pastinya ada! Nah, itu Anda sedikit banyak sudah menjawab pertanyaan sendiri haha. Iya, karena kalau tidak dibatasi, data bisa membengkak. Dan proses pemilahan ini hmm… cukup melelahkan karena tidak sedikit artikel daring entah Kompas, Detik, Tribun dan lain-lain memiliki kesamaan dari segi konten dan substansinya. Bahkan saya pernah menjumpai 3 berita yang diproduksi dari 3 media. Semuanya dengan headline yang berbeda, namun secara substansi pemberitaan sama. Anehnya, atau mungkin bagian paling menjengkelkan, beberapa narasumber kadang punya argumen yang sama tapi beda aktornya..Ā atas dasar ini, maka tidak semua berita saya masukkan. Saya seleksi lagi dan pilih satu atau dua artikel yang sekiranya mewakili.
Dengan topik tersebut, kendala apa yang paling terasa saat mengerjakan skripsi?
Kendala yang paling terasa adalah… Jelas kurang sekali referensi untuk penelitian semacam ini di arkeologi. Pun, penelitian sebelumnya yang menggunakan kerangka teori yang sama dengan tulisan saya, dalam hal eksekusi menurunkan teori ke variabel analisis bisa berbeda beda. Istilahnya, Foucauldian bebas menafsirkan bagaimana teori Foucault bisa diaplikasikan. Sebelumnya, perlu digarisbawahi, saya bisa jadi bukan Foucauldian dan sampai sekarang pun masih belum bisa memahami sebagian tulisan Foucault. Hal ini lantas jadi satu kendala lagi, karena saya harus belajar dari nol sebelum bisa dan mungkin layak menggunakan teori Foucault. Semacam tidak pede gitu dan takut salah.. eeh akhirnya muncul rasa malas haha … Ya mungkin itu sih kendalanya, lebih ke internal (diri sendiri).
Ada keinginan untuk memperdalam riset di bidang ini?
Jujur ada dan sangat ingin malah.Ā Tapi… entah, saya masih belum bisa memutuskan dan belum menemukan kesempatan. Bila ada, saya ingin sekali sih!
Insight apa saja yang Mas Tom dapat dari hasil penelitian ini?
Kita bicara secara general saja ya. Haha maaf, karena saya sudah sangat eneg atau jenuh,āsementara iniādengan post-modernisme, intinya, post-modernisme itu menurut saya kosong. Dan, saya merasa tidak semakin dekat dengan kebenaran seperti yang mungkin dijanjikan beberapa pemikir postmo (mungkin saya salah dan ini subjektifitas saya. Monggo kalau ada masukan atau kritik, saya sangat menerima), tapi justru memunculkan opsi-opsi lain, kebenaran terkait isu Gunung Padang dan kita bebas mau berdiri di atas kebenaran yang mana. Jadi, semacam proses panjang dan melelahkan itu berujung nihil.. haha.Ā Overall, paling tidak ini bisa memunculkan beberapa opsi fakta, mungkin juga bagi beberapa orang, terutama orang orang positivist, fakta-fakta ini bukan fakta, tapi masih asumsi. Intinya, paling tidak bisa memberi gambaran kalau: kita, arkeolog, ada ‘lahan bermain’ besar, yang bisa dijadikan alat politis untuk mencapai kepentingan tertentu.
Bila ada kesempatan untuk mengulang mengerjakan skripsi, apa yang ingin ditambah atau diubah?
Hmmm yang jelas di bagian analisis aktor dan kepentingannya, karena saya merasa (di bagian itu) belum menjabarkan secara keseluruhan dan mantap tentang siapa saja yang terlibat dan atas dasar kepentingan apa,Ā konstruksi pemikiran lewat media yang berusaha ditanamkan dan dibangun apa, dan sebagainya … Wahaha.. Jadi semuanya dong berarti.Ā Yaa.. begitulah intinya. Skripsi ini tulisan yang sangat terburu buru, sehingga cukup banyak kurangnya.
Menurut Mas Tom, apa penelitian semacam ini perlu digiatkan lagi, terlebih di kalangan mahasiswa; baik untuk skripsi atau tulisan ilmiah populer?
Saya rasa, ada saja sudah bagus kok, kalau untuk digiatkan… Hmm, mungkin tidak terlalu urgent. Dilihat dari segi praktis, penelitian semacam ini jelas tidak bisa memberikan kontribusi secara konkret baik buat kita maupun pihak lain selain akademisi. Jadi, akan susah ya nanti penerimaan beberapa orang (di lingkungan arkeologi). Tapi, untuk tulisan ilmiah jelas bisa, karena penelitian semacam ini sifatnya lebih retoris haha jadi feel free, siapa pun yang suka tantangan dan butuh cara pandang baru atau barangkali Anda-anda mahasiswa yang melabeli diri sebagai mahasiswa progresif, sila dicoba. Tidak ada salahnya menciptakan gerakan baru yang sedikit banyak beda dari bentuk yang sudah ada dan mapan.
Jooss! Siap, terima kasih kalau begitu, Mas. Semoga ada kesempatan lain untuk menyambung obrolan ini. Oh ya, kalau misal ada yang menginginkan untuk akses baca skripsi, apa boleh dan bagaimana caranya?
Sama-sama! Ah, tentu boleh dan bisa. Silakan berkorespondensi dengan saya via email ke christommymartotama@gmail.com. Salam!