Keberanian yang Menyelamatkan

Tapi ia memilih berani. Bersama istri dan lima puluh pengikutnya, mereka berlayar ke Teluk Palu memakai perahu berjenis kora-kora.

Penulis: Sandy Maulana

Pada abad ke-18, perubahan besar terjadi di Eropa. Penyempurnaan mesin uap yang dipatenkan James Watt di tahun 1769 membongkar sendi-sendi kehidupan masyarakat Eropa dan melahirkan era industrialisasi.

Transisi selalu menghadirkan korban. Kenaikan suhu muka bumi pada 12.000 tahun lalu, menandai permulaan holosen, era di mana suhu bumi cukup ramah untuk manusia bercocok tanam. Bagi manusia tentu ini merupakan kabar baik. Kemampuan domestifikasi tanaman pangan adalah tonggak awal setiap peradaban. Namun bagi burung Dodo, quagga, dan lumba-lumba Sungai Yangtze, meluasnya penyebaran manusia sama artinya dengan kepunahan.

Setelah era industrialisasi dimulai, banyak buruh yang diberhentikan oleh korporasi dan perusahaan besar. Sebabnya, tenaga mereka telah digantikan mesin-mesin uap yang bekerja lebih cepat dan murah.

Kemuraman menggelayuti seluruh penjuru Eropa. Di Jerman, perasaan buruh dan mereka yang disingkirkan mesin termanifestasi oleh istilah weltschmerz. Ketidakberdayaan melawan zaman dan perubahan yang terlalu cepat menimbulkan kemurungan tak bertepi. Seolah esok dan kesempatan-kesempatan di masa depan adalah momok yang perlu dihindari.

Satu abad sebelumnya, di Koto Tangah, Minangkabau, perasaan yang sama boleh jadi menghinggapi dada Abdullah Raqie sebelum ia bersama istri dan pengikutnya memutuskan berdakwah ke Sulawesi. Kala itu, sebagian Sulawesi belum tersentuh ajaran Islam, terutama di teluk bagian tengah yang memang masyhur dengan keganasan perompaknya.

Gambar 1: Lokasi Teluk Palu dari peta pulau Sulawesi abad ke-19
Sumber: Tweede Kamer der Staten-Generaal (upload.wikimedia.org)

Di abad ke-17 hingga ke-18, Teluk Palu terkenal di seluruh kalangan pelaut Belanda dan Nusantara sebagai sarang perompak. Collins (2006) dalam bukunya Sejarah Bahasa Melayu: Sulawesi Tengah 1793–1795 mengutip catatan John Dalton, pelaut Eropa yang pernah mengunjungi Teluk Palu:

Saya menasihati semua kapal Eropa agar jangan berlayar di Teluk Palu melainkan dengan awak kapal bersenjata lengkap, karena semua penduduk di sana adalah perompak laut paling jahat. Orang Kaili terkenal karena perampokan dan pembunuhan. Sejak bertahun-tahun yang lalu, pemimpin Kaili menjalankan kejahatannya di lautan ini, dan dia telah menculik banyak orang Eropa yang kemudian dibunuhnya atau didaratkan di Pagatan (sebagai abdi), di sanalah banyak orang Eropa ditawan.

Jika setelah mengetahui cerita itu Raqie mengurungkan niatnya karena khawatir dakwahnya menemui jalan buntu, atau takut mereka seluruhnya dibunuh, maka boleh jadi syiar Islam tak akan selantang sekarang di Lembah Palu. Tapi ia memilih berani. Bersama istri dan lima puluh pengikutnya, mereka berlayar ke Teluk Palu memakai perahu berjenis kora-kora.

Kedatangan Raqie disambut Pue I Nggari, salah satu raja yang berkuasa di wilayah Lembah Palu. A.C. Kruyt, misionaris Belanda yang mengunjungi Lembah Palu di tahun 1900-an mencatat, Pue I Nggari adalah pangeran dari Wonggi yang memutuskan pindah ke Palu. Nggari kemudian mendirikan Desa Pandjege—saat ini menjadi daerah Pogego, Palu Barat.

Dalam Sejarah Dato Karama (Abdullah Raqie), Nurdin & Maddini (2018) menulis ketika Abdullah Raqie bertemu Pue I Nggari di pantai, mereka berusaha saling berkomunikasi tapi terhalang oleh kendala bahasa. Raqie berbicara menggunakan bahasa Melayu yang tidak dipahami Nggari. Begitu halnya Nggari yang hanya cakap berbahasa Kaili. Namun segera, berkat mukjizat yang Raqie miliki, ia mampu memahami penyampaian Nggari. Melihat keajaiban itu, Nggari mengurungkan niatnya membunuh Raqie. Ia memanggil Raqie dengan sebutan Dato Karama atau orang mulia yang memiliki mukjizat.

Cerita-cerita selanjutnya dari Dato Karama yang telah dikumpulkan Nurdin & Maddini (2018) terus digelayuti mitos. Dikisahkan bahwa La Patatoe, anak dari Pue I Nggari, menjadi orang pertama di Lembah Palu yang diislamkan Dato Karama. Ayahnya berjanji, apabila Dato Karama berhasil menyembukan La Patatoe dari penyakit, maka ia bersedia anaknya disunat—dan masuk Islam.

Dato Karama lantas mengambil air, meniupnya, dan membaca doa. Setelah meminum air itu, La Patatoe seketika sehat. Pilihan La Patatoe dan Pue I Nggari untuk memeluk Islam sontak membuat penduduk Lembah Palu berbondong-bondong ikut memeluk Islam, sebagaimana raja dan pangeran mereka.

Hari-hari ini kisah-kisah di atas memang terdengar tak masuk akal. Sama tidak masuk akalnya dengan mala yang terjadi sekarang yang membuat kita semua takut, kecewa, dan mungkin dilingkupi weltschmerz lantaran ancaman yang terasa ada di mana-mana.

Tentu sulit membayangkan diri tenang sementara pemerintah asyik berkelakar soal kalung ‘Anti Virus Covid-19’ dan dunia maya digempur oleh pernyataan bodoh. Jelas pula bahwa seharusnya pemerintah mulai mendengar para ahli terpercaya ketimbang bisikan serdadu dan intelijen.

Melihat gonjang-ganjing yang ada, boleh jadi sekarang adalah waktu yang tepat bagi kita melemaskan leher, menyesap teh, dan mempertimbangkan berani sebagai pilihan terbaik yang tersisa. Seperti Dato Karama.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: