Belajar Toleransi dari Tenun Ikat Kediri

Telah 75 tahun Indonesia merdeka. Sudahkah kemerdekaan itu dirasakan oleh semua rakyat?
Apa arti merdeka yang sesungguhnya?

Penulis: Priyo Joko Purnomo | Penyunting: Salma FK

Agaknya, pertanyaan-pertanyaan itu cukup sulit dijawab mengingat rapor merah yang mewarnai jalan panjang kemerdekaan Indonesia. Menjadi catatan merah tebal, utamanya perkara intoleransi. Perselisihan antaretnis dan antargolongan adalah kudapan yang hingga hari-hari ini masih jamak dijumpai. Tampaknya, banyak dari mereka yang abai bila keberagaman adalah tali penguat yang digenggam erat-erat ketika memperjuangkan kemerdekaan negeri.

Keberagaman budaya yang berkelindan satu sama lain wajarnya menciptakan akulturasi. Produk budaya yang kemudian muncul ialah cermin indahnya toleransi di masa lalu. Tenun ikat dari Kediri, Jawa Timur, adalah salah satu contohnya. Keberadaan tenun ikat Kediri di Tropenmuseum, Belanda menjadi salah satu rekam jejak tertua dari karya sandang ini. Menurut penuturan Ibu Siti Ruqayah, istri dari pendiri rumah industri tenun ikat Medali Mas, tenun ikat mulai berkembang sejak tahun 1950-an di Kediri. Jauh sebelum itu, kehadiran tenun ikat diinisiasi oleh etnis Arab dan Tiongkok. Mereka bermukim di wilayah Kediri lalu mendirikan industri rumahan tenun ikat dengan masyarakat lokal sebagai pegawai. Seiring berjalannya waktu, para pegawai mulai berdikari. Mereka mulai merintis dan mengembangkan industri rumahan tenun ikat secara mandiri. 

Lantas, bagaimana awal mula interaksi ini bisa terjadi?

Konon, sejak zaman dahulu, Kediri telah dikenal sebagai tempat singgah bangsa asing. Hal ini berkaitan dengan adanya Sungai Brantas yang pernah menjadi jalur transportasi dan perdagangan dari berbagai wilayah. Orang-orang dari negeri seberang itu mulanya hanya berdagang dan singgah di Kediri. Kemudian, sebagian dari mereka memutuskan untuk tinggal menetap, berdampingan dengan masyarakat lokal Kediri. Karenanya, hingga saat ini jejak kehadiran mereka masih dapat ditelusuri melalui rumah-rumah di dekat Sungai Brantas yang memiliki perpaduan arsitektur antara etnis Tionghoa dan masyarakat lokal.

Lokasi pengrajin tenun ikat juga tak jauh dari aliran Sungai Brantas. Tepatnya di daerah Bandar Kidul. Akulturasi budaya dari tenun ikat tampak dari motif-motif yang dihasilkan. Motif-motif tenun ikat Kediri didominasi oleh motif geometris dan tumbuhan. Adanya motif tersebut bisa jadi merupakan pengaruh unsur Islam yang dibawa oleh etnis Arab pada masa lalu, di mana penciptaan motif makhluk hidup (manusia dan hewan) sangat dihindari. Motif geometris dan tumbuhan adalah alternatif yang dipilih untuk tetap “memberi warna” pada kain tenun.

Selembar kain tenun tercipta berkat benih kesabaran dari pembuatnya. Kain tenun yang diciptakan secara tradisional menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM) telah melalui proses yang panjang. Proses dasar dari pembuatan tenun ini adalah menganyam benang-benang yang letaknya membujur (benang lungsin) dan benang yang letaknya melintang (benang pakan). Untuk jenis tenun ikat, proses pewarnaan dilakukan dengan cara mengikat bagian benang yang digunakan untuk motif agar tidak terkena warna saat proses pencelupan.

Foto oleh Wahyu Adji Febrianto

Berbeda dengan beberapa daerah lain di Indonesia, tenun ikat Kediri tidak hanya dibuat oleh kaum wanita, tetapi juga bisa dibuat oleh kaum pria. Hal ini mencerminkan adanya pandangan kesetaraan gender bagi kaum pria maupun wanita dalam kacamata masyarakat Kediri. Penciptaan kain tenun ikat Kediri bukan sekadar menggerakkan roda kehidupan. Namun juga laku spiritual untuk melatih kesabaran, ketelitian, kejelian, dan keikhlasan. Dengan demikian, para pengrajin ini secara tidak sadar telah membentuk nilai-nilai toleransi pada diri mereka sendiri melalui lelaku tersebut. 

Pada akhirnya, pelestarian tenun ikat Kediri sangatlah diperlukan. Selain untuk menggerakkan roda perekonomian, upaya pelestarian juga berguna untuk merawat nilai historis yang terkandung di dalamnya. Sayangnya, masyarakat masa kini cenderung abai terhadap penggunaan kain tenun. Sama halnya dengan batik, ‘kuno’ adalah julukan yang lazimnya melekat pada kain tenun ikat. Kesadaran generasi muda untuk berperan dalam pelestarian tenun ikat ini pun sudah saatnya ditingkatkan agar kain tenun ikat tidak lenyap termakan zaman. 

Bercermin dari sejarah panjang tenun ikat Kediri, seharusnya kita dapat memaknai arti toleransi lebih dalam lagi. Toleransi bukan hanya menjadi slogan dan visi-misi belaka, tetapi toleransi adalah kenyataan yang selayaknya dirasakan oleh semua warga Indonesia tanpa membedakan asal-usul etnisnya. Mengutip ujaran dari Seno Gumira Ajidarma : “Orang yang bijak akan menerima segala bentuk perbedaan pandangan sebagai kekayaan, karena keseragaman pikiran sungguh-sungguh memiskinkan kemanusiaan”.   

Tentang Penulis

Priyo Joko Purnomo
Penikmat karya sastra klasik dan warisan budaya lainnya.
Dapat dihubungi melalui surel priyojoko.p@gmail.com

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: