Arsip Film Klasik, Riwayatmu Kini

Kerja perawatan terhadap arsip film ibarat meniupkan ruh pada pita seluloid agar dapat terus bernapas, menemui penonton dari lintas generasi, dan hidup dalam ingatan mereka yang menyaksikan.

Penulis : Hamima Nur Hanifah | Penyunting : Salma FK, Tyassanti Kusumo

Bau menyengat asam langsung menjalari indra penciuman saya ketika menginjakkan kaki di sebuah gudang film milik Sinematek Indonesia, lembaga arsip film yang dirintis sejak 1975 dan berlokasi di Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI), Kuningan, Jakarta Selatan. Bau asam yang mirip cuka atau tiner cat itu rupanya berasal dari material film berbahan seluloid yang disimpan di ruangan tersebut. Firdaus, seorang juru rawat film di sana kemudian menyambut kedatangan saya. Ia tengah membersihkan satu kaleng film berjudul Lagi-Lagi Krisis (1955) yang diproduksi oleh Perfini —perusahaan film yang aktif memproduksi film Indonesia pada 1950-an. Dengan seragamnya yang berwarna biru dan berbekal sarung tangan hitam, Firdaus dengan terampil membersihkan pita seluloid yang usianya sudah mencapai 64 tahun dan menambal bagian-bagian yang rusak. Tangan kirinya mengapit pita film dengan kain putih, sementara tangan kanannya menggerakkan mesin pemutar untuk menggulung pita tersebut pelan-pelan.

Tak banyak yang tahu bahwa sebelum kita dapat menikmati kecanggihan menonton film di layar bioskop seperti sekarang, sebenarnya, bertahun-tahun yang lalu, film sudah dibuat dari bahan plastik bernama seluloid yang kemudian diproyeksikan dan dipertontonkan ke khalayak umum. Adanya transformasi penggunaan teknologi yang masif membuat bioskop-bioskop jaringan besar yang dulunya menggunakan proyektor konvensional untuk memutar film seluloid kini beralih ke sistem proyeksi yang serba digital. Akibatnya, laboratorium film tempat seluloid diproduksi tutup dan bangkrut satu per satu, bisnis-bisnis usaha perfilman yang menggunakan film seluloid seperti pada pertunjukan film keliling (disebut pula misbar atau gerimis bubar) juga gulung tikar. Ketika film seluloid sudah ditinggalkan dan tergantikan, Sinematek Indonesia hadir dan berupaya melakukan kerja pengarsipan terhadap film ‘jadul’ tersebut.

Firdaus, petugas yang sudah bekerja lebih dari 20 tahun di Sinematek lantas mengantar saya menuju ruang penyimpanan film (film fault) untuk memperlihatkan koleksi. Di dalam, saya sempat terkesima melihat banyaknya kaleng film yang saling bertumpuk. Beberapa di antaranya dibiarkan tergeletak di lantai. Kaleng-kaleng plastik tempat rol film disimpan itu disusun secara meninggi pada rak-rak yang berderet dan memanjang ke belakang. Firdaus menuturkan, hingga kini Sinematek Indonesia telah menghimpun lebih dari 700 judul film (fiksi dan dokumenter) yang jika ditotal terdiri dari 2700 –bahkan lebih rol film, termasuk juga ratusan skenario film, buku-buku perfilman, peralatan film, dan lain sebagainya. Koleksi film tertuanya adalah Tie Pat Kai Kawin (Siloeman Babi Perang Siloeman Monjet) yang diproduksi oleh Hindia Belanda pada 1935. Poster film dari tahun ke tahun saling bertumpuk di sudut ruangan, tanpa data. Banyak pula foto-foto dari adegan film, casting, dan juga artikel dari koran maupun majalah film yang berceceran di ruang sempit ini. Saya pun sempat menyentuh poster film bioskop berukuran 70cm x 100cm yang terbuat dari kain di tumpukan barang tersebut, debu tebal ternyata melapisi permukaan poster itu.

Ruang penyimpanan film (film vault) di basement gedung PPHUI. Rol-rol film berbahan seluloid disimpan dalam wadah berbentuk kaleng plastik dan disusun menumpuk
(cr : Hamima, dok.pribadi).

Beberapa kaleng film yang dibiarkan menumpuk di lantai
(cr : Hamima, dok.pribadi).

Bau asam yang sedari tadi tercium juga semakin menusuk hidung. Apalagi suhu ruangan juga diatur rendah (mencapai 9⁰ C) dengan tingkat kelembapan antara 45-50%, aturan baku untuk menjaga seluloid agar tetap prima.

Di Sinematek Indonesia, Firdaus memiliki kewajiban untuk mengecek kondisi dan kelayakan rol film, membersihkan dan memperbaiki bila ada kerusakan, serta memastikan segala kebutuhan untuk seluloid terpenuhi. Film yang akan dibersihkan, sebelumnya ia ambil dari ruang penyimpanan. Satu judul film yang biasanya terdiri dari 4 sampai 5 rol itu kemudian diurai satu per satu menggunakan mesin pemutar. Apabila ada badan pita yang sobek, Firdaus akan menyambungnya dengan alat bernama splicer. Setelah berhasil disambung, Firdaus lantas membersihkannya dengan kain putih yang sudah dituangi alkohol etanol 95%. Setelah kedua proses tersebut selesai, gulungan rol kemudian dipasang di mesin penyunting untuk dilihat kembali hasil gambarnya. Pita film yang telah dibersihkan kemudian digulung lagi dengan hati-hati, kemudian dimasukkan ke dalam kaleng film berbahan plastik untuk dikembalikan ke ruang penyimpanan film.

Ruang perawatan film tempat Firdaus bekerja
(cr : Hamima, dok.pribadi).

Firdaus di meja kerjanya.  Ia tengah membersihkan rol film secara  manual (cr : Hamima, dok.pribadi).

Perawatan terhadap arsip film seluloid dilakukan agar barang ini tetap pada kondisi yang sedekat mungkin dengan kondisi aslinya, apalagi tak semua koleksi film yang diserahkan ke Sinematek Indonesia berada dalam kondisi yang bagus, beberapa bahkan sudah rusak dan hampir tak bisa diselamatkan. Lambat laun, apabila tak segera ditangani, image dalam film akan hilang, perlahan, film-film klasik berbahan seluloid itu akan hancur dan tak bisa ditonton selamanya.

Dinding ruangan yang dipenuhi oleh tempelan poster (cr : Hamima, dok.pribadi).

Sedihnya, beberapa tahun belakangan ini Sinematek Indonesia seperti berada di ujung tanduk. Anggaran biaya pemeliharaan minim, sarana dan prasarana tidak memadai, hingga tidak adanya regenerasi sumber daya manusia. Mesin pembersih pita film yang dipunyai SI saat ini dalam kondisi rusak dan tak pernah diperbaiki, pendingin udara di gedung basement mati, atap gedung bocor, rak-rak penyimpanan film sempit dan berjejal, koleksi poster dibiarkan tergeletak berdebu di lantai, dinding ruangan yang dipenuhi poster film mulai ditumbuhi lumut. Pada akhirnya, proses kerja pemeliharaan film di Sinematek Indonesia menjadi tidak ideal sesuai prosedur dan cenderung ala kadarnya.

Di samping itu, bidang pengarsipan film Indonesia juga menghadapi problem lain yang menerpa berbagai kalangan mulai dari pemerintah, sineas, maupun publik itu sendiri, yakni rendahnya kesadaran terhadap budaya arsip. Indonesia sebagai negara berkembang, belum begitu punya perhatian yang khusus terhadap kerja pengarsipan, termasuk arsip film. Pengeluaran biaya untuk kepentingan arsip dianggap tidak perlu karena masih ada banyak kebutuhan lain yang serba mendesak, seperti kesehatan, pendidikan, maupun kesejahteraan ekonomi. Sikap sadar arsip yang tinggi tampaknya hanya berlaku bagi negara mapan yang sudah memahami esensi kerja-kerja pengarsipan dengan baik.

Dengan demikian, kita pun tidak semestinya menutup mata atas situasi tragis yang terjadi dalam ranah pengarsipan film di Indonesia. Apalagi kehadiran Sinematek Indonesia juga seharusnya tidak hanya dilihat sebagai ruang untuk menimbun “harta karun” berupa film-film kuno, tetapi juga sebagai ruang pengawetan sejarah dan budaya sinema Indonesia. Apabila situasi di SI semakin memburuk, hal paling mengerikan yang mungkin saja terjadi adalah punahnya koleksi sekaligus hilangnya sejarah pengetahuan itu sendiri.

Industri perfilman Indonesia kini semakin berkembang. Jumlah penonton bioskop setiap tahun semakin meningkat. Perkembangan ini ditandai dengan semakin beragamnya genre yang disajikan dalam layar lebar, sutradara-sutradara berprestasi muncul dengan filmnya yang berkualitas, baik dari segi teknis maupun konten dan estetika film. Sayangnya, kemajuan di industri tersebut tidak dibarengi dengan sistem pengelolaan arsip film yang layak. Perjalanan film tak seharusnya berhenti di ruang-ruang menonton. Setelah malang-melintang melalui proses panjang dari produksi, distribusi, hingga konsumsi, film masih harus disimpan atau dengan kata lain; diarsipkan. Dalam hal ini, Sinematek Indonesia harus menjadi tempat terakhir bermuaranya film-film setelah lalu-lalang melintasi pusaran arus tersebut. Namun tak hanya itu, semua pihak juga harus turut serta dan bahu-membahu terlibat terhadap proses pemeliharaan film. Sehingga, di masa depan film-film klasik tersebut akan tetap dapat dinikmati oleh anak-cucu-cicit kita dengan kualitas gambar yang baik.

Tentang Penulis

Hamima Nur Hanifah (@hamimanh)
Pernah kuliah di Antropologi Budaya. Menggemari dunia seni pertunjukan dan juga preservasi film.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: