Museum Check: Update dong yang di KBBI!

Penulis: Tyassanti Kusumo | Penyunting: Sandy Maulana

Mengamati pergerakan isu yang jadi perbincangan di twitter, ternyata betul-betul menggelitik. Mengingatkan untuk selalu sadar dan peka. Banyak hal yang sering dipikir kurang penting, tapi ternyata menyeleweng dan bisa berabe bila menjadi persepsi publik, seperti misal kasus kata ‘perempuan’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Bagian penjelas dan asosiasi kata tampak sangat diskriminatif. Pilihan sandingan dan penggunaan mengarah pada penempatan perempuan sebagai pihak yang mendapat perlakuan tak baik, seakan tidak memiliki ide atau gagasan dan bertabiat buruk. Heran, sampai hati sekali rupanya si penyusun kamus ini.

Alhasil, rasa-rasanya perlu dilakukan proses pembacaan terhadap definisi-definisi yang ada dalam KBBI. Meski di masa sekarang banyak pihak yang mulai mengesampingkan definisi sebagai ‘apalah-apalah halah-halah’ alias melepaskan diri dari belenggu pengertian yang ditentukan, posisi kata dalam sebuah kamus besar yang mencatut nama Negara adalah titik panas. Bisa menjadi sangat politis karena kerap jadi rujukan.

Perkara definisi, dalam beberapa urusan, juga jangan sampai menjadi satu kondisi statis dan tidak berkembang. Peninjauan perlu dilakukan selalu, mengingat kondisi masyarakat, tatanan dunia serta nilai di dalamnya selalu berubah;

Masa iya tidak ada pergeseran makna pada kata yang digunakan?

Berangkat dari satu online campaign yang lewat saat sedang melihat aneka produk, rasanya jadi tergoda untuk melongok ke KBBI, ngecek tentang pengertian Museum. Bayangkan! Dalam kerja menjual barang ikonik daring seperti itu, museum dicatut sebagai konten campaign! Naik kelas rupanya, sudah diwaro.

Mak dhegggg..

Pantas saja museum selalu dipersepsikan sebagai tempat yang membosankan, wong ternyata dalam KBBI ‘Museum’ dituliskan sebagai ‘gedung yang digunakan sebagai tempat untuk pameran tetap benda-benda yang patut mendapat perhatian umum, seperti peninggalan sejarah, seni dan ilmu; tempat menyimpan barang kuno’. Sementara itu, ‘Memuseumkan’ diartikan sebagai ‘memasukkan (menyimpankan) ke museum; menyimpan dan tidak menggunakannya lagi (tentang barang-barang yang sudah terlalu lama digunakan atau tidak pantas lagi digunakan’.

Hmmm apa tidak bikin meringis, sobat? Tapi memang dalam konteks obrolan sehari-hari, museum lebih sering digunakan sebagai diksi yang berhubungan dengan sesuatu yang sudah tidak fungsional di hidup kita sehingga harus ditaruh di tempat tersebut (menggunakan verba ‘memuseumkan’ tadi). Nah, barangkali susah untuk menggeser penggunaan tersebut, sehingga ada baiknya menyunting pengertian Museum di KBBI, dengan misal menaruh pengertian dan cara penggunaan lama di bagian bawah. Sehingga yang dibaca atau muncul di awal adalah pengertian baru.

Mengasosiasikan museum sebatas ‘gedung’, ‘benda-benda’ ‘barang kuno’ ‘tidak pantas digunakan’ rasanya seperti menantang kerja-kerja pelaku permuseuman yang terus bergumul membuat museum hidup dan turut melaju dalam goyangan kegilaan abad. Membaca definisi yang ada di KBBI, tidak satu pun mencerminkan adanya esensi gerak dan laku manusia, sehingga jarak terhadap kenyataan begitu tampak.

Coba kita lihat, aneka museum kini sedang berbenah dan terus berupaya bergerak meski kondisi keuangan dan sumber daya sangat terbatas. Bahkan beberapa telah menjalin simpul kerjasama dengan berbagai komunitas. Kemunculan kelompok pemerhati dan pegiat museum di masyarakat, pada akhirnya berdampak pada museum agar terus berkembang, sehingga paradigma kerja terdahulu, seperti menyimpan barang, menerima koleksi temuan, bisa beranjak ke titik progresif lain. Seperti membuat pameran dengan tema khusus yang relevan dengan kondisi hari ini atau identitas lokal, ragam acara interaktif yang mengundang partisipasi aneka golongan, serta program-program khusus untuk kelompok tertentu.

Dinamika di atas seakan mengamini perkembangan wacana global tentang museum, yang memposisikan koleksi (‘benda-benda’) sebagai komponen sekunder. Pemikiran tersebut dirintis sejak akhir tahun 60-an oleh Duncan Cameron dalam tulisannya untuk Curator (1968). Cameron mengajak pembaca untuk melihat museum bukan sebagai kumpulan benda-benda saja, tetapi sebagai tempat menyebarkan pengetahuan.

Ajaib, pemikiran Cameron kemudian memantik pikiran orang-orang lain, terutama pelaku permuseuman. Sehingga, pada tahun 70-an, dimulailah pergeseran pandangan global mengenai  museum, dari yang sebelumnya fokus mengenai pengelolaan, nilai-nilai tradisional, penyimpanan, menuju komunitas masyarakat dan kehidupan sosial yang berjejal di antara.

Terpaut sekitar 30-an tahun dari wacana global museum, sepertinya tidak ada kata terlambat; katanya, daripada tidak sama sekali.  Jika museum-museum di Indonesia setidaknya telah mencoba, ada baiknya elemen lain seperti Tim Penyusun KBBI dapat turut berkontribusi memberi pencerahan.

Dan, sembari menunggu waktu tersebut tiba, mari kita berjalan-jalan menjelajah twitter kembali, siapa tahu menemukan bahan ghibah yang teracik sepanjang ini.

Penulis: Tyassanti Kusumo | Penyunting: Sandy Maulana

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: