Angka Kunjungan Museum, Apakah Berarti?

Penulis: Salma FK | Penyunting: Sandy Maulana

Museum dan pengunjung adalah dua unsur yang komplementer, saling membutuhkan. Seperti halnya Indomie rebus dan telur, yang agak lah aneh bila terpisah. Pengelola museum di Indonesia mengaminkan premis itu keras-keras, tapi sayangnya secara parsial. Yang terjadi: pengunjung dilihat hanya sebatas angka. Bukan individu mandiri atau kolektif yang datang dengan maksud menyerap serta memproduksi pengetahuan dari museum.

Angka pengunjung yang banyak kerap dianggap trofi—atau jangan-jangan memang hanya itu yang bisa dibanggakan pengelola museum? Simak saja, pernyataan Kepala Unit Pengelola Museum Sejarah Jakarta (Museum Fatahillah)[1] yang berseloroh, bila pengunjung Museum Fatahillah pada tahun 2018 mencapai 868.033 orang. Jumlah itu lebih banyak daripada tahun 2017 yang hanya 856.202 orang.

Beralih ke tempat lain, yakni museum yang diakui paling tua di negeri ini, Museum Nasional Indonesia atau Museum Gajah (lahir 24 April 1778, umur 242 tahun). Merujuk pada Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Museum Nasional 2018, jumlah pengunjung mereka sepanjang tahun 2018 adalah 316.213 orang.

Lalu mengapa? Apa pentingnya angka-angka di atas?

Mengetahui bahwa Museum Fatahillah dikunjungi 868 ribuan orang per tahun bisa saja berarti 1 dari 12 penduduk Jakarta—yang total dihuni lebih dari 10 juta jiwa—pernah singgah ke tempat ini. Sebuah pencapaian yang baik, tentu. Memahami Museum Nasional Indonesia didatangi 316 ribuan orang per tahun dapat bermakna ada 900 pengunjung yang singgah tiap hari. Sehingga museum perlu menyiapkan alur pengunjung yang rapi dan jumlah edukator yang cukup agar mereka yang datang merasa nyaman.

Lantas, sudahkah itu cukup? Dari sekian banyak pengunjung apakah semuanya telah mendapatkan “sesuatu” dari kunjungan mereka? Sebenarnya apa yang selayaknya mereka dapatkan dari museum? Apakah museum telah berperan? (sungguh banyak pertanyaan!). Mari kita bahas perlahan-lahan.

Beberapa Peran dan Manfaat Museum

Menurut Lewis (2010), museum memiliki peran untuk menjaga tinggalan kebudayaan serta memberikan interpretasi kepada masyarakat. Selanjutnya ditegaskan bahwa tinggalan atau benda-benda yang ada di museum merupakan benda yang penting. Koleksi museum dilindungi hukum internasional dan dapat menjadi komponen penting untuk menunjukkan identitas budaya, identitas nasional, juga internasional.

Berbicara mengenai benda-benda koleksi museum, sebenarnya benda ini adalah “benda mati” yang dipamerkan. Pameran museum menjadi penting agar benda-benda tersebut dapat memberikan informasi dan pembelajaran bagi pengunjung. Di samping itu, dengan ditunjukkannya berbagai benda “antik” tersebut pada khalayak ramai, diharapkan dapat tumbuh kepercayaan pada museum, bahwa museum telah merawat “warisan masyarakat” itu  dengan baik (Dean 1994).

Lebih jauh lagi, ada pendapat yang menyatakan bahwa hendaknya museum mampu memadukan unsur pendidikan dan kesenangan. Museum sebaiknya bisa berperan sebagai mitra pendidik (baik bagi guru, orangtua, hingga berbagai lapisan masyarakat). Dimana untuk mewujudkannya, museum-museum di Indonesia dapat mengadaptasi The Four Pillars of Education in the 21st Century yang telah digaungkan oleh UNESCO. Pilar-pilar tersebut terdiri dari : learn to know, learn to do, learn to be, dan learn to live together. Sebagai mitra pendidik, harapannya museum yang demikian dapat memberi sumbangan untuk pembangunan serta kemajuan bangsa dan negara (Tanudirjo 2007).

Berdasarkan pemaparan singkat ini dapat disimpulkan bahwa museum memiliki peran dalam :
1.  Menginterpretasi koleksinya, sehingga dapat memberikan informasi tentang identitas kultural masyarakat.
2.  Memberi informasi dan pembelajaran pada masyarakat melalui pameran yang diselenggarakan.
3.  Merawat koleksi dengan baik.
4.  Menjadi mitra pendidik, sehingga dapat memberi manfaat untuk pembangunan dan kemajuan bangsa.

Maka, dengan adanya museum paling tidak pengunjung dapat mengambil pengetahuan atau minimal mengingat koleksi yang pernah mereka lihat disana. Bila sudah terjadi rekaman memori tersebut, maka barangkali dapat dikatakan bahwa museum telah berhasil memberi “sesuatu” pada pengunjungnya.

Menambah Jumlah Pengunjung(?)

Menurut berita dari mesin pencari di dunia maya, terlihat bahwa semakin hari museum-museum di Indonesia berusaha untuk berbenah[2]. Pembenahan tersebut dilakukan dari berbagai sisi, mungkin bangunan, tata pamer, fasilitas, dan sebagainya. Sebagai tambahan, setidaknya saat ini museum-museum tersebut telah memiliki akun media sosial yang aktif (misal: Instagram). Mereka kerap kali melakukan lomba dan kuis berhadiah sehingga dapat menarik atensi masyarakat dimanapun berada. Aktifnya media sosial barangkali juga dapat memicu keinginan para followers untuk berkunjung langsung.

Selain itu, beberapa museum juga memiliki jadwal untuk melakukan pameran keliling atau pameran bersama yang dilakukan di luar gedung museum. Misalnya Museum Nasional Indonesia, pada tahun 2018 telah menyelenggarakan pameran di berbagai kota di Indonesia. Setiap pameran tentu memiliki tema tertentu atau sesuai dengan tema pameran bersama. Adanya pameran yang jauh dari lokasi museum, juga mungkin dapat mendorong orang-orang untuk datang suatu waktu.

Upaya museum sebenarnya juga tidak dapat dilepaskan dari peran pemerintah daerah setempat. Contohnya di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Seksi Permuseuman dari Dinas Kebudayaan, sejak tahun 2013 telah memiliki program bernama “Wajib Kunjung Museum”[3]. Dengan adanya program ini baik siswa SD-SMA, komunitas, hingga masyarakat umum dapat mengunjungi museum-museum di DIY secara cuma-cuma. Partisipan yang telah mendaftarkan kelompoknya akan dijemput dan diantarkan ke 3 museum, termasuk didampingi oleh guide berpengalaman. Fasilitas ini sudah termasuk bus untuk rombongan, tiket masuk museum, konsumsi, dan pemandu.

Tidak lupa, secara umum museum-museum di Indonesia telah memiliki tagline yang hingga saat ini masih digunakan yaitu : Museum di Hatiku, dengan logo dan jingle-nya. Slogan ini sebenarnya diperkenalkan pada tahun 2010 dalam Tahun Kunjung Museum 2010 oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Adanya momen ini juga diiringi dengan lahirnya Gerakan Nasional Cinta Museum (GNCM)[4].

Beberapa upaya yang disebutkan disini tentu hanyalah sedikit contoh saja. Tentunya seluruh museum dari Sabang sampai Merauke telah berusaha untuk mengadakan beraneka rupa kegiatan untuk menyampaikan apa yang mereka punya. Percayalah!

Penutup

Angka kunjungan hanyalah angka untuk dilaporkan pada instansi terkait tiap tahun. Angka-angka ini mungkin dapat menjadi bukti keberhasilan museum. Mengapa? Karena angka yang banyak dipercaya menunjukkan daya tarik museum. Daya tarik tersebut sangat mungkin ditularkan dari pengunjung satu ke yang lainnya melalui cerita tentang ingatan-ingatan saat berkunjung.

Walaupun kita tidak tahu, sebenarnya mereka ingat museum karena terpaksa menulis laporan kunjungan untuk tugas sekolah, atau benar-benar terkagum dengan apa yang telah dipamerkan museum. Wallahu’alam.

Selamat Hari Museum Internasional ke-43!

Salam Sahabat Museum, Museum di Hatiku!

Daftar Pustaka

Dean, David. 1994. “Introduction.” In Museum Exhibiton: Theory and Practice. London: Routledge.
Lewis, Geoffrey. 2010. “The Role of Museums and The Professional Code of Ethics.” In Running A Museum: A Practical Handbook, edited by Patrick J Boland, 1–16. Paris: ICOM.
Tanudirjo, Daud Aris. 2007. “Museum Sebagai Mitra Pendidik.” Museografia 1 (1): 15–32.

Penulis: Salma FK | Penyunting: Sandy Maulana

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: