Menyongsong Keinklusifan Museum -sebuah tulisan dalam rangka

Penulis: Tyassanti Kusumo | Penyunting: Sandy Maulana

Museum di hatiku!

Begitu jargon yang sering diteriakkan para edukator maupun pemandu museum ketika sedang melakukan tur bersama pengunjung. Tak luput, jargon yang sama juga dipekikkan bersama-sama dalam ruang seminar yang membahas tentang museum. Lalu, pekikan itu tak lama akan disusul dengan tepuk tangan dan swafoto. Sudah. Selesai begitu saja tur juga seminarnya. Pengalaman berkunjung ke museum? atau.. pengalaman ngobrol tentang museum? Barangkali butuh beberapa jam atau hari untuk mengendapkan dan menjadikannya sebagai pengetahuan baru, itu pun kalau jadi, dan ingatan tak tercecer.

Sebagai warga yang tinggal dan mengenyam pendidikan di Indonesia, kegiatan pergi ke museum tentu tidak asing bagi kita semua. Kala SD maupun SMP umumnya masih diramaikan dengan aktivitas kunjungan, baik ke landmark kota, kota-kota lain di Indonesia, dan juga ke museum. Sedini mungkin kita telah diperkenalkan. Oleh karenanya, bisa jadi perjumpaan sebagian besar warga Indonesia dengan museum didapat dari kegiatan sekolah. Sampai di sini, no debat, bila museum mengampu tugas edukasi. Nyatanya yang selalu ditekankan ketika pergi ke museum adalah mendapat pengetahuan baru b̶u̶k̶a̶n̶ ̶m̶e̶m̶p̶r̶o̶d̶u̶k̶s̶i̶ ̶p̶e̶n̶g̶e̶t̶a̶h̶u̶a̶n̶.

Pengetahuan tersimpan dalam koleksi dan alur kisah, yang akan dituturkan oleh edukator kepada pengunjung. Selain itu, tak boleh luput, adalah pengalaman, perjumpaan dengan aneka koleksi, dalam artian koleksi tersebut memang dikhususkan untuk dipegang dan jadi sarana interaktif bagi pengunjung. Senada dengan paparan Mensch & Mensch dalam Inspiring Learning for All,  pengalaman adalah salah satu prinsip pendidikan konstruktivis di museum, yang memicu kerja pembentukan pengetahuan dan pemahaman dalam diri manusia (Sjøberg, 2006:2-3). Pengalaman yang bisa ditawarkan adalah pengalaman belajar, praktek, merasakan, dan hiburan (Pine & Gilmore, 1998:101)

Prinsip lainnya, museum perlu menawarkan strategi belajar sebab tidak semua orang berbasis pada cara belajar visual, misalnya. Terlebih, pengunjung museum hadir dari berbagai kalangan, sehingga rasanya pilihan untuk menawarkan ragam aktivitas, seperti mendengar, diskusi, dan aktivitas kinetik adalah hal bijak. Ketika tidak ada ragam strategi belajar yang ditawarkan, proses produksi pengetahuan akan terhambat, dan secara langsung, muncul disparitas dalam penyediaan strategi belajar.

Pedoman selanjutnya, museum menyuguhkan proses interpretasi. Hal ini penting, sebab tidak ada yang ingin pulang dari museum dengan tak membawa apa-apa. Setidaknya jika tidak ada kesenangan, ada pandangan baru yang muncul dari proses interpretasi makna, menerka lantas mencerna apa yang baru saja dijumpai dari koleksi serta alur cerita. 

Menyadari bahwa museum mengampu tugas edukasi, tentu krusial bagi penyelenggara museum untuk memperhatikan poin-poin di atas, tujuannya tak lain dan tak bukan adalah menjadikan museum sebagai agen yang memegang peranan signifikan dalam masyarakat heterogen.

Paling tidak, langkah untuk mewujudkan poin-poin tersebut memperlihatkan upaya Museum untuk semakin inklusif dan sadar terhadap ragam pengunjung dan/atau pembelajar, seperti misal kepada para penyandang disabilitas yang memiliki pendekatan lain untuk belajar.

Menilik kondisi hari ini, beberapa museum telah memperlengkapi berbagai sarana fisik supaya bisa dimanfaatkan oleh teman-teman penyandang disabilitas. Namun, selain akses keluar-masuk ruangan, dibutuhkan pula fasilitas lain terkait koleksi dan alur kisah museum untuk bisa dinikmati.

Tak lupa, dibutuhkan pula edukator yang telah dibekali pelatihan khusus agar semakin lihai dan inklusif saat bercerita mengenai koleksi dan alur kisah. Sebagai contoh, untuk kawan-kawan buta ketika sedang berhadapan dengan koleksi yang tidak boleh disentuh, tentu harus dibantu dengan penjelasan dari edukator. Dalam kasus ini, edukator harus mencoba sedetail mungkin menjadi sosok yang interaktif dan imajinatif.

Proses upgrade museum akan menyangkut personalia internal, bukan hanya edukator saja, kurator dan segenap pengelola harus pula menatah prinsip tersebut dalam paradigma kerja mereka, sehingga museum terasa lebih relevan dan fungsional bagi profil holistik masyarakat. Selain itu, perhatian khusus terhadap hal ini tentunya juga harus menjadi pekerjaan rumah bagi pihak kementerian terkait, sebab apa guna pelaksana lapangan bergerak tapi ada simpul perubahan yang pasif dan hanya angkat tangan?

Baiknya, selain fokus membangun museum untuk memperlengkapi rasio tidak seimbang antara jumlah museum dan jumlah penduduk, museum-museum yang sudah ada juga perlu diperhatikan dan diberi pendampingan khusus. Dalam hal ini, bila pihak museum belum ada inisiatif atau memiliki kendala dalam proses upgrade sarana fisik dan pengembangan sumber daya manusia, toh PP No. 66 Tahun 2015 tentang Museum telah mencantumkan adanya porsi kerja bagi Menteri untuk melakukan standarisasi dan evaluasi tiap tiga tahun sekali. Arah dari evaluasi diharapkan bisa menjadi titik terang dan batu loncatan pengelolaan museum yang lebih inklusif, khususnya dalam mengampu tugas edukasi.

Sumber:

Mensch, Peter van dan Mensch, Leontine Meijer-van. 2011. New Trends in Museology. Museum of Recent Hidtory Celje. Slovenia

Pine, B. Joseph II and Gilmore, James. 1998. Welcome to the Experience Economy dalam Harvard Business Review, July 1, 1998

Sjøberg, Svein. 2006. Constructivism and Learning dalam International Encyclopedia of Education 3rd Edition. Elsevier. Oxford

Penulis: Tyassanti Kusumo | Penyunting: Sandy Maulana

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: