Penulis: Adina Fala Yudha | Penyunting: Sandy Maulana
Masih ingat buku LKS? Itu lho, lembar-lembar tipis dengan bahan kertas buram yang disulap menjadi buku materi pas sekolah dulu. Ketika SMA, saya ingat betul salah satu mata pelajaran yang saya sukai adalah sejarah. Mulai dari zaman paleozoikum sampai masa reformasi, semua materi dengan padat disusun di dalam buku LKS.
Dari LKS itulah saya mengenal dan mulai mencintai yang namanya manusia purba.
Setelah belajar bahwa temuan fosil terbanyak jenis Homo erectus terletak daerah yang bernama Sangiran, saya semakin bersemangat untuk mengunjungi Museum Sangiran. Namun apa daya saya yang masih di bawah umur tidak diperbolehkan pergi sendirian ke sana. Padahal, Dora saja cuma berbekal peta dan teman monyetnya bebas pergi kemana aja ya?
Cita-cita itu terwujud ketika semasa kuliah semester satu—sekarang semester 11, hiks—saya beserta teman-teman satu jurusan mengikuti kuliah lapangan ke Museum Sangiran Klaster Krikilan. Lebih menariknya, museum ini nggak hanya mengoleksi fosil manusia purba aja, tapi ada juga fosil flora-fauna, dan artefak serta alat peraga yang kalau ditotal jumlahnya bisa sampai 14000 item. Nggak kebayang ya seberapa banyaknya koleksi itu kalo diletakkan di satu ruangan, bisa tenggelem tuh satu orang.
Selain Museum Sangiran Klaster Krikilan, sebenarnya saya lebih tertarik pada Museum Klaster Ngebung yang terletak tak begitu jauh. Museum ini secara spesifik membahas tentang mitos balung buto. Ha? Balung buto? Tulang besar?
Ya! Balung buto dimaknai oleh orang sangiran sebagai ‘tulang raksasa’. Dulu masyarakat Sangiran percaya bahwa dahulu di bumi Sangiran pernah terjadi perang super dahsyat dan mengakibatkan banyak raksasa yang gugur dan terkubur di bukit. Setelah berpuluh ribu tahun kemudian akhirnya sisa-sisa tulang raksasa tersebut terekspos ke permukaan tanah dan ditemukan masyarakat Sangiran. Jadi deh, si balung buto.
Salah satu diorama di Museum Klaster Ngebung menjelaskan bahwa pada tahun 1930-an penduduk Sangiran percaya bahwa balung buto dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan dapat dipakai sebagai jimat. Membuat obat dari balung buto dilakukan dengan cara merendam balung buto dalam air, kemudian air rendaman diminumkan pada pasien. Bisa pula dengan cara direbus, lalu ditumbuk.
Hmm. Kira-kira kenapa ya masyarakat dulu sering mengkonsumsi balung buto sebagai obat? Padahal pada masa itu rempah-rempah dan obat-obatan tradisional sudah banyak digunakan, apalagi di Pulau Jawa yang notabenenya tidak bisa lepas dari empon-empon?
Untungnya, kehadiran Von Koenigswald, seorang sarjana kelahiran Berlin dan ilmuwan yang berafiliasi dengan Meganthropus paleojavanicus, di kurun tahun 1930-1940 mulai mengubah persepsi masyarakat Sangiran tentang balung buto. Ia menjelaskan bahwa balung buto atau fosil, sesungguhnya merupakan sisa-sisa kehidupan masa lalu yang perlu dipelajari dan dijaga eksistensinya. Balung buto yang biasanya dikonsumsi sebagai obat perlahan beralih fungsi sebagai objek penelitian arkeologis dan paleoantropologis hingga saat ini.
Nah, buat kamu yang masih penasaran dengan mitos balung buto, kamu dapat mengunjungi Museum Klaster Ngebung. Tapi-tapi kan sekarang lagi pandemi, Kak? Eits tenang, seluruh Museum Purba Sangiran sudah dapat dinikmati secara virtual. Artinya, sambil rebahan pun kamu bisa tetap plesir.
Yuk, klik di sini!
Penulis: Adina Fala Yudha | Penyunting: Sandy Maulana